25 Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia Surati Stellantis terkait Investasi Smelter dengan Vale dan Huayou Cobalt

 

SURAT 25 ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA TERKAIT INVESTASI SMELTER OLEH STELLANTIS DENGAN VALE DAN HUAYOU COBALT

 

JOINT LETTER FROM 25 INDONESIAN CIVIL SOCIETY ORGANIZATIONS REGARDING SMELTER INVESTMENT BY STELLANTIS WITH VALE AND HUAYOU COBALT

 

Bpk. John Elkann

Chairman, Stellantis N.V.

Taurusavenue 1
2132 LS Hoofddorp

The Netherlands

 

Mr. John Elkann

Chairman, Stellantis N.V.

Taurusavenue 1
2132 LS Hoofddorp

The Netherlands

 

Perihal: Kekhawatiran tentang potensi Joint Investment dalam pengolahan nikel di Indonesia bersama Vale Indonesia dan Huayou Cobalt.   Subject: Concerns about a potential joint investment in Indonesian nickel with Vale Indonesia and Huayou Cobalt.

 

Kepada Mr. John Elkann,

 

Dear Mr. John Elkann,
Kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran serius bahwa, rencana investasi Stellantis dalam fasilitas pengolahan nikel bersama Vale Indonesia dan Huayou Cobalt apabila tanpa perlindungan yang memadai, dapat membahayakan Masyarakat Adat, komunitas lokal, pekerja, dan lingkungan hidup.

 

Sebagai pemimpin pasar dalam produksi kendaraan di Amerika, Cina, dan kendaraan listrik (EV) Eropa, Stellantis memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa konsumennya tidak terlibat dalam perusakan hutan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ancaman kepada masyarakat adat terpencil (uncontacted tribes). Selain itu, Stellantis perlu memperhatikan dan mengatasi risiko-risiko ini untuk mematuhi Regulasi Baterai Uni Eropa yang mulai berlaku pada tahun 2025.

 

We are writing to express serious concern that, without meaningful safeguards, Stellantis’s proposed investment in a nickel processing facility with Vale Indonesia and Huayou Cobalt will seriously endanger Indigenous People and local communities, workers, and the environment.

 

 

As a market leader in American, Chinese and European electric vehicle (EV) manufacturing, Stellantis has an obligation to ensure that its consumers are not complicit in deforestation, human rights violations and the wiping out of uncontacted people in Indonesia. Moreover, Stellantis needs to address these risks to comply with the European Union Batteries Regulation coming into force in 2025.

Surat ini didasarkan pada bukti yang semakin meningkat (terlampir di bawah) mengenai pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan hutan, dan dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh penambangan dan pengolahan nikel di seluruh Indonesia. This letter follows mounting evidence (listed below) of human rights violations, deforestation, and severe climate impacts caused by nickel mining and processing across Indonesia.

 

●      Penambangan nikel di Indonesia terjadi di pusat daerah-daerah yang kaya keanekaragaman hayati, yang menjadi rumah bagi berbagai spesies endemik di zona transisi antara flora dan fauna Eurasia dan Australia. Sulawesi dan Maluku, yang disebut “laboratorium hidup evolusi,” telah kehilangan lebih dari 76.000 hektar hutan sejak tahun 2000 untuk penambangan nikel. Sekitar setengah juta hektar lagi terancam oleh ekspansi industri nikel.

●      Dalam penelitian yang dilakukan oleh Satya Bumi (2024) menunjukkan hubungan rantai pasokan dengan sebuah pulau kecil, Kabaena, yang menjadi rumah bagi suku Bajau, suku nomaden laut terakhir di dunia. Penambangan ilegal dan tidak etis ini menyebabkan kematian dan perubahan gaya hidup suku Bajau. Bahan baku baterai yang digunakan oleh Stellantis berasal dari kegiatan ini.

●      Laporan CSR Tahun 2023 milik Stellantis, pada halaman 280 menunjukkan bahwa perusahaan menerima input material baterai dari pertambangan nikel di Indonesia yang teridentifikasi adanya konflik lahan.

●      Disamping itu,  ditemukan bahwa Stellantis menggandeng kemitraan Joint Venture dengan pembuat baterai Samsung SDI asal Korea Selatan untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Amerika Utara, yang dijadwalkan dibuka pada tahun 2027 dengan kapasitas produksi awal 34 gigawatt jam/tahun. Sama halnya CATL, Samsung SDI juga menerima bahan baku pembuatan baterai dari perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

●      Penelitian yang dilakukan oleh Survival International (2024) menunjukkan bahwa pertambangan nikel di Maluku menimbulkan ancaman genosida yang serius terhadap masyarakat adat Hongana Manyawa yang tidak tersentuh dunia luar. Perusahaan terbesar yang beroperasi di wilayah mereka, (Weda Bay Nickel) sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan pertambangan Prancis Eramet, yang telah menandatangani MoU dengan Stellantis.

●      Seiring dengan perusahaan tambang yang merambah tanah milik masyarakat lokal, komunitas-komunitas ini dan pembela lingkungan semakin dikriminalisasi karena membela tanah mereka dari operasi pertambangan.

●      Pada Desember 2023, sebuah ledakan di fasilitas pengolahan nikel di Morowali Industrial Park, yang dioperasikan oleh PT Gunbuster Nickel Industry, menewaskan 13 orang dan menyebabkan 46 orang terluka. Di seluruh Indonesia, 47 kematian dan 76 cedera terjadi di lokasi nikel antara tahun 2015 dan 2022, mencerminkan bahaya yang dihadapi pekerja di smelter nikel.

●      Proses high-pressure acid leach (HPAL) yang digunakan untuk mengekstrak nikel dari tambang laterit di Indonesia meninggalkan tailing yang mengubah laut menjadi merah, mencemari saluran air lainnya, dan memindahkan komunitas lokal.

●      Saat ini, pembangkit listrik berbasis batubara digunakan untuk mengolah nikel yang ditambang di Indonesia, menghasilkan emisi CO2 yang lebih besar dibandingkan negara lain. Kapasitas batu bara captive dari Morowali Industrial Park (IMIP) dan Weda Bay Industrial Park (IWIP) akan memiliki kapasitas pembangkit 5 GW dari pembangkit listrik berbasis batubara – setara dengan kapasitas seluruh Pakistan. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara untuk mendukung produksi nikel menempatkan Indonesia pada jalur menuju salah satu negara dengan polusi iklim tertinggi di dunia, mengancam manfaat iklim dari EV.

·       Nickel mining in Indonesia is taking place in biodiversity hotspots, home to an array of endemic species in the transition zone between Eurasian and Australian flora and fauna. Sulawesi and the Maluku islands, dubbed as “living laboratories of evolution,” have seen over 76,000 hectares of forest cleared for nickel mining since 2000. An additional half a million hectares under threat by the expansion of the nickel industry.

●      Research conducted by Satya Bumi (2024) shows the supply chain relationship with a small island, Kabaena, with the world’s last sea nomadic tribe, the Bajau tribe. Causing death and changes in the lifestyle of the sea tribe. This illegal and unethical mining sends battery materials used by Stellantis.

●      Stellantis 2023 CSR report, on page 280, shows that the company receives battery material inputs from nickel mining in Indonesia, which are associated with mineral conflicts.

●      Also, it was found that Stellantis formed a Joint Venture partnership with South Korea’s battery maker, Samsung SDI, to build an electric vehicle battery plant in North America, scheduled to open in 2027 with an initial production capacity of 34 gigawatt-hours per year. Similar to CATL, Samsung SDI also receives raw materials for battery production from nickel mining companies operating in the Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

●      Research conducted by Survival International (2024) shows that nickel mining in Maluku poses a serious threat of genocide to the uncontacted Indigenous Hongana Manyawa people. The largest company operating on their territory, (Weda Bay Nickel) is part owned by French mining company Eramet, which Stellantis has signed an MoU with.

●      As mining companies encroach on land belonging to local communities, these communities and environmental defenders are increasingly criminalised for defending their land against mining operations.

●      In December 2023, an explosion at a nickel processing facility in Morowali Industrial Park, operated by PT Gunbuster Nickel Industry, killed 13 people and left 46 injured. Across Indonesia, 47 deaths and 76 injuries occurred at nickel sites between 2015 and 2022, reflecting the dangers workers face at nickel smelters.

●      The high-pressure acid leach (HPAL) process used to extract nickel from laterite mines in Indonesia leaves behind tailings which turn the ocean red, pollute other waterways and displace local communities.

●      Currently, captive coal plants are used to process nickel mined in Indonesia, generating more CO₂ emissions for nickel than in other countries. The captive coal capacity of the Morowali Industrial Park (IMIP) and Weda Bay Industrial Park (IWIP) will have 5 GW of generating capacity from coal-fired plants – or as much capacity as the entire nation of Pakistan. Building coal plants to support nickel production is putting Indonesia on the path to be one of the highest climate-polluting countries in the world – and threatening to undermine the climate benefits of EVs.

 

Sebagai produsen EV besar yang berencana berinvestasi di Indonesia, Stellantis memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam rantai pasokan kendaraan listriknya di Eropa, Cina, Inggris, dan AS bebas dari pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia semacam ini.

 

As a major Western EV manufacturer looking to invest in Indonesia, Stellantis has an opportunity to ensure that nickel used in its EV supply chains in Europe, China, the UK and the US, is free from such environmental and human rights violations.

 

Setiap investasi Stellantis dalam industri nikel Indonesia harus atau setidaknya, mencakup langkah-langkah perlindungan untuk iklim, ekosistem, dan masyarakat, sebagai berikut: Any investment by Stellantis in Indonesia’s nickel industry must at a minimum, include several measures to help protect climate, ecosystems, and people:

 

  1. Memastikan bahwa pemasok menghormati dan menegakkan hak hukum untuk menentukan nasib sendiri dan Persetujuan Bebas, Sadar, dan Tanpa Paksaan (FPIC) untuk masyarakat adat dan komunitas lokal, termasuk hak untuk menolak pengembangan tambang nikel, smelter, atau infrastruktur lainnya.
  2. Berkomitmen untuk tidak mengambil bahan dari wilayah suku adat yang belum terhubung dengan dunia luar atau masyarakat yang memang mengisolasi teritorial wilayahnya, karena mereka tidak dapat memberikan FPIC.
  3. Menggunakan pengaruh terhadap pemasok dan pemerintah Indonesia untuk mengakui hak teritorial suku Hongana Manyawa atas tanah mereka, serta menetapkan dan menegakkan zona larangan bagi wilayah suku Hongana Manyawa yang belum terhubung.
  4. Berkomitmen untuk hanya mengambil nikel dari tambang yang menghindari dan meminimalkan ekstraksi yang menyebabkan kehilangan hutan tropis.
  5. Memastikan tidak ada nikel yang diambil dari pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk pulau Kabaena.
  6. Menetapkan target waktu yang jelas untuk mendekarbonisasi rantai pasokan mineral transisi dan memastikan pemasok mengambil langkah konkret untuk mencapainya.
  7. Menggunakan praktik terbaik dalam manajemen limbah di fasilitas HPAL, sebagaimana yang diuraikan dalam pedoman “Guidelines for Responsible Tailings Management” dari Earthworks, yang meliputi namun tidak terbatas pada: a) Mewajibkan penggunaan teknologi terbaik yang tersedia, seperti penumpukan kering dari tailing yang telah difilter (dengan pengakuan bahwa penumpukan kering mungkin tidak menjadi pilihan yang layak di banyak bagian Sulawesi dan Maluku karena iklim yang basah); b) tidak menempatkan lokasi pembuangan tailing di koridor evakuasi; c) mengembangkan rencana darurat dan menggunakan peninjau independen untuk mempromosikan keselamatan; d) mengikuti undang-undang dan standar kualitas lingkungan yang ada; e) mengadopsi mekanisme keluhan publik.
  8. Menggunakan praktik yang lebih baik untuk memastikan bahwa logam berat berbahaya, seperti kromium heksavalen, tidak dibuang ke perairan tawar dan laut sekitar.
  9. Menetapkan peraturan keselamatan yang memadai untuk pekerja dan pemantauan fasilitas untuk mencegah kecelakaan serta memberikan kompensasi yang adil.
  10. Membagikan semua informasi terkait ekspansi masa depan, deforestasi, akuisisi lahan, dan kegiatan industri kepada publik, serta memastikan bahwa informasi tersebut dapat diakses oleh komunitas lokal, dengan mengadakan pertemuan publik dan menyediakan informasi dalam bahasa lokal, serta memastikan bahwa komunitas adat memberikan Persetujuan Bebas, Sadar, dan Tanpa Paksaan (FPIC) sesuai hukum internasional.
  11. Memastikan bahwa penghormatan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak perempuan, anak-anak, lansia dan kelompok berkebutuhan khusus dan rentan lainnya dilaksanakan di wilayah ekstraksi mineral dan seluruh operasi rantai pasok

 

1.     ensure that suppliers respect and uphold the legal rights of self- determination and Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) for Indigenous people and local communities, including the right to withhold consent to the development of nickel mines, smelters or other infrastructure

2.     commit not to source any materials originating from the territories of uncontacted Indigenous peoples/peoples in voluntary isolation because they cannot give FPIC;

3.     use influence on suppliers and the Indonesian government to call for the recognition of the Hongana Manyawa’s territorial rights to their lands and for a no-go zone for the uncontacted Hongana Manyawa to be established and enforced.

4.     commit to sourcing from mines that avoid and minimize extraction of nickel that leads to tropical forest loss;

5.     ensure no sourcing nickel from small islands in Indonesia, including Kabaena;

6.     set explicit, time-bound targets to decarbonize transition mineral supply chains and ensure that suppliers are taking concrete steps to reach those targets;

7.     Utilise the best tailings management practices in HPAL facilities, namely those outlined in Earthworks’ Guidelines for Responsible Tailings Management, including but not limited to a) mandating the use of best available technologies, such as dry stacking of filtered tailings (acknowledging that dry stacking may not be a feasible option in many parts of Sulawesi and Maluku due to the wet climate); b) not locating tailings disposal sites in evacuation corridors; c) developing emergency plans and using independent reviewers to promote safety; d) following existing environmental quality laws and standards; e) adopting public grievance mechanisms.

8.     use improved practices to ensure harmful heavy metals, such as hexavalent chromium, are not discharged into surrounding freshwater and seawater;

9.     require adequate safety regulations for workers and monitoring of facilities to prevent death and injury, as well as fair compensation

10. Share all information related to future expansion, deforestation, land acquisition, and industrial activities with the public, and make that information accessible to local communities, including by holding public meetings and providing information in local languages, and ensure that indigenous communities give full Free, Prior, Informed Consent as required by international law.

11. Ensure that respect, protection and restoration of the rights of women, children, the elderly and other groups with special needs and who are vulnerable are implemented in mineral extraction areas and throughout supply chain operations

Mulai tahun 2025, produsen EV yang menjual produknya di pasar Uni Eropa diwajibkan memiliki pelacakan penuh dan kewajiban kehati-hatian yang ketat dalam rantai pasokan baterai mereka. Untuk mempersiapkan regulasi ini dan meningkatkan transparansi, Stellantis harus mengungkapkan informasi relevan kepada publik, termasuk: From 2025, EV manufacturers selling on the EU market will be required to have full traceability and strict due diligence of their battery supply chain. In order to prepare for the regulation and improve transparency, Stellantis should disclose relevant information to the public, including:

 

 

●      Mempublikasikan informasi rinci tentang rantai pasokan, pemasok, pengolah, dan wilayah geografis sumber (provinsi, daerah, dan negara),

●      Menyebutkan rantai pasokan yang tercakup;

●      Mempublikasikan bukti persentase mineral yang diperoleh sesuai dengan komitmen;

●      Mempublikasikan pengaduan terkait dengan sumber mineral dan tindakan yang diambil;

●      Mempublikasikan audit pihak ketiga dan pemeriksaan operasi tambang dan pemurnian;

●      Melacak dan mengungkapkan dampak terhadap keanekaragaman hayati, dengan perhatian khusus pada perubahan penggunaan lahan dan deforestasi di konsesi tambang.

●      publishing detailed supply chain information on suppliers, processors, and geographic sourcing areas (provinces, regions, and countries),

●      specifying which supply chains are covered;

●      publishing evidence of mineral percentages sourced in compliance with commitments;

●      publishing grievances linked to mineral sourcing and corresponding actions taken;

●      publishing third-party audits and screenings of mining operations and refiners;

●      tracking and disclosing impacts on biodiversity; paying particular attention to land use change and deforestation in mining concessions.

 

 

 

 

Stellantis mengklaim memiliki “rasa tanggung jawab dan kepemimpinan yang kuat dalam era mobilitas berkelanjutan.” Untuk menegakkan hal ini, Stellantis harus memastikan bahwa setiap investasi dalam nikel di Indonesia tidak akan membahayakan Masyarakat Adat, komunitas lokal, hutan tropis, atau lingkungan. Kesepakatan antara Stellantis, Vale Indonesia, dan Huayou Cobalt yang mengabaikan masalah ini akan menjadi tindakan yang tidak bertanggung jawab dan berbahaya.  

Stellantis claims a “strong sense of responsibility and leadership in a new era of sustainable mobility.” To uphold this, Stellantis must ensure that any investment in Indonesian nickel will cause no harm to Indigenous Peoples, local communities, tropical forests, or the environment. An agreement between Stellantis, Vale Indonesia, and Huayou Cobalt that neglects these concerns would be both irresponsible and dangerous.

 

 

 

Sincerely,

  1. Andi Muttaqien, Executive Director, Satya Bumi
  2. Meiki Paendong, Executive Director, RHIZOMA
  3. Andi Rahman, Executive Director, WALHI Southeast Sulawesi
  4. Ahmad Syukuri, Executive Director, Link-AR Borneo West Kalimantan
  5. Pius Ginting, Coordinator, Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER)
  6. Muhammad Al Amien, Executive Director, WALHI South Sulawesi
  7. Linda Rosalina, Executive Director, TuK INDONESIA
  8. Kurniawan Sabar, Director, Institute for Nationalist and Democracy Studies (INDIES)
  9. Julius Ibrani, National Coordinator, Indonesian Legal Aid and Human Rights Association, (PBHI)
  10. Rahmat Maulana Sidik, Executive Director, Indonesia for Global Justice – IGJ
  11. Bondan Andriyani, Climate and Energy Team Leader, Greenpeace Southeast Asia
  12. Agung Wibowo, Executive Director, Perkumpulan HuMa
  13. Franky Samperante, Executive Director, PUSAKA Belantara Rakyat
  14. Ali Akbar, Head, Kanopi Hijau Indonesia
  15. Bhima Yudhistira, Executive Director, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
  16. Nadia Hadad, Executive Director, Madani Berkelanjutan
  17. Uli Arta Siagian, Manager Campaigner Forest dan Plantation, Friends of The Earth National Exectuive (Walhi Eknas)
  18. Muhammad Ichwan, Executive National Director, Independent Forest Monitoring Network (JPIK)
  19. Anggi Putra Prayoga, Campaign Manager and Policy Intervention, Forest Watch Indonesia (FWI)
  20. Faisal Ratuela, Executive Director, WALHI Maluku Utara
  21. Amalia R. Oktaviani, Program Manager, Trend Asia
  22. Ahmad Vauzi, Program Manajer, ELSAM
  23. Sisilia Dewi, Indonesia Team Leader, 350 Indonesia
  24. Maxc Binur, Director, Belantara Papua
  25. Muhamad Isnur, Chairman, Legal Aid Foundation (YLBHI)

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.