Pembangunan proyek fasilitas pengolahan bijih nikel berteknologi HPAL milik PT. Kolaka Nickel Indonesia (PT.KNI) di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, menimbulkan kegelisahan terhadap keberlanjutan biodiversitas laut dan sumber mata air yang menjadi nadi kehidupan masyarakat. Proyek smelter ini dikelola secara patungan (joint venture) antara PT Vale Indonesia, Huayou Cobalt, dan Produsen mobil asal Amerika Serikat Ford Motors.
Mulyadi (45) suku bajau asli menatap getir kondisi air laut di bawah rumah panggungnya, di Desa Hakatutobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Air laut yang dulunya jernih itu berubah warna menjadi coklat pekat, terutama saat hujan deras datang.
“Sekarang air laut sudah kotor, mau melaut harus sampai 3 mil baru dapat tangkapan itu pun harus mengeluarkan 150 ribu untuk bensin, sedangkan hasil tangkapan tak seberapa dibanding dulu”.
Dulu mereka biasa bermain bola di bawah rumah mereka, lanjut Mulyadi, tapi kini ketika hujan deras, wilayah pesisir desa mereka terkena lumpur sedimentasi berwarna coklat pekat yang bisa mencapai sepanjang 1 kilometer.
Tangkapan drone kondisi air laut di Desa Hakatutobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, 26 Februari 2025. Satya Bumi/Didi Hardiana
Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Desa Dawi-Dawi, desa ini dikenal sebagai desa nelayan, hampir seluruh masyarakat di desa ini menopang hidup dari hasil tangkapan ikan. Ketika di pagi hari, warga Desa Dawi-Dawi harus menenggak debu merah yang menempel di teras rumah mereka. Debu merah itu tak lain berasal dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Antam dan aktivitas pertambangan nikel Antam— Perusahaan Badan Milik Negara.
Sudirman (41) seorang nelayan suku bajau warga Desa Dawi-Dawi harus berhutang ke pengepul ikan untuk bisa pergi mencari tangkapan ikan di laut dan tak jarang Ia harus kembali dengan kapal kosong karena tidak mendapatkan tangkapan.
“Aduh, berat sekarang, Bu, berat.”
Demikian kalimat pertama keluar dari mulutnya ketika ditanya mengenai dampak tambang nikel bagi kehidupannya sebagai Bajau. Petaka kerusakan alam akibat pertambangan tidak hanya dialami oleh para nelayan, namun juga dialami oleh para petani sawah di Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka (berdekatan dengan kecamatan Pomalaa).
Juli 2023, banjir bandang menimpa desa tersebut dan membanjiri 500 hektare persawahan warga. Banjir berwarna merah kecokelatan tersebut diduga kuat hasil limpahan air nikel imbas pembukaan kawasan PT. Indonesia Pomalaa Industry Park (PT. IPIP). Akibatnya, petani merugi karena kualitas panen buruk, gagal panen jadi makanan petani sejak IPIP didirikan. Padi tak lagi gemuk, bahkan banyak di antaranya kopong. Proyek pembangunan kawasan industri itu mengakibatkan pencemaran Sungai Oko-Oko. Mirisnya sungai tersebut dipakai sebagai sumber air minum masyarakat, juga sebagai sumber utama irigasi sawah di Desa Lamedai.
Persawahan warga, Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, 25 Februari 2025. Satya Bumi/Didi Hardiana
Petaka Itu Berawal dari IPIP
Di siang terik akhir Februari 2025, mobil four wheel drive perusahaan tambang berlalu lalang menyusuri jalanan di sepanjang Desa Oko-Oko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Dari pinggir jalan tampak terpampang jelas papan bertuliskan “Tanah ini Milik PT. Indonesia Pomalaa Industry Park (PT. IPIP).”
Papan wilayah konsesi PT. Indonesia Pomalaa Industry Park (PT.IPIP), Desa Oko-Oko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, 26 Februari 2025 (Satya Bumi).
Dalam dokumen akta perusahaan yang tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Maret 2025, 70% kepemilikan saham PT. IPIP dikuasai oleh Huaxing Nickel yang merupakan anak usaha dari Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd (selanjutnya Huayou)—perusahaan asing asal Tiongkok yang bergerak dalam proyek-proyek penambangan dan pengolahan sumber daya alam, salah satunya nikel, kobalt, dan litium. Produknya lebih lanjut diolah dan dijual untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik dan produk-produk elektronik lainnya.
Diperlukan luas lahan hingga 11.808 ha untuk membangun Kawasan Industri Pomalaa di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Hingga saat ini pembebasan lahan masih menjadi persoalan karena area kawasan industri beririsan dengan wilayah hutan, termasuk cagar alam, lahan sawah, kebun, dan tambak masyarakat, serta tanah yang berstatus sebagai aset negara dan selain itu lokasi pembangunan masuk ke dalam area laut. Kendati, tumpang tindih fungsi lahan ini, pada tahun 2024 berdasarkan Permenko 12/2024, IPIP ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional. Artinya, akselerasi pembangunan dan kemudahan izin akan diberikan, termasuk mengerahkan anggota militer dan polisi. Hal ini barang tentu memperuncing konflik di lapangan.
Namun, mengingat dikeluarkannya Permenko Nomor 12 Tahun 2024 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, status Kawasan Industri Pomalaa ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan demikian, pemerintah Indonesia memberi dukungan penuh dan kemudahan perizinan untuk pembangunannya.
Dalam laporan tahunan 2023 yang dikeluarkan oleh Huayou, perusahaan menggandeng PT. Vale Indonesia dan produsen mobil Ford Motor asal Amerika Serikat untuk mengembangkan tambang dan smelter nikel berteknologi high- pressure acid leaching (HPAL) di Pomalaa dengan produksi 120.000 ton/tahun nikel. Proyek kerja sama ini akan dikelola melalui perusahaan patungan (joint venture) PT Kolaka Nickel Indonesia (PT. KNI).
Proyek kerja sama PT. KNI, Ford Motor memiliki opsi untuk memperbesar porsi saham 8.5% – 17%, PT. Vale Indonesia 30%, Huaqi unit usaha Huayou di Singapura menguasai 73,2% dengan seluruh jumlah investasi mencapai 3,842.152 juta dolar AS. Dalam Perjanjian kerja sama ini, PT. Vale Indonesia dan Ford Motor akan memasok tambang pomalaa untuk PT. KNI. Sebagai timbal balik yang didapatkan Ford Motor melakukan pendanaan PT. KNI adalah 84.000 bahan baku baterai kendaraan listrik akan dikirimkan ke Ford Motor.
Namun deal-deal miliaran rupiah tersebut nyatanya tak pernah melibatkan masyarakat di sekitar lingkar tambang. Dari ketiga desa yang kami kunjungi, masyarakat yang kami wawancarai tidak pernah dipertanyakan soal Free prior informed consent (FPIC) terkait aktivitas tambang dan pembangunan smelter di Kolaka. Hal ini sangat kontras dengan komitmen Ford, Vale, dan Hoayou terkait penghormatan hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Merujuk dalam pernyataan Ford Motors mengenai komitmen menjalankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan prinsip keberlanjutan lingkungan, Ford Motors harus memastikan mitra kerja sama perusahaan memiliki nilai-nilai yang sama sesuai dengan kebijakan yang dimiliki Ford Motors. Satya Bumi menyaksikan sendiri, bahwa komitmen di atas kertas tersebut masih jauh panggang dari api.
Kami juga mengumpulkan berbagai cerita dari masyarakat yang bekerja di perusahaan tambang, khususnya di PT. IPIP dan PT. Vale Indonesia. Dari 20 pekerja yang kami wawancarai, 80% para pekerja menyadari dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan nikel dan proyek pembangunan kawasan industri Pomalaa, namun tak dipungkiri status menjadi seorang pekerja tambang sudah menjadi keterpaksaan tuntutan ekonomi yang harus dipilih disaat profesi menjadi petani dan nelayan sudah tidak mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka. Banyak di antara pekerja lokal juga mengalami diskriminasi di lingkungan pekerjaan mereka yang selalu dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Di samping itu adanya perbedaan bahasa antara pekerja lokal dan pekerja asing, sering membahayakan keselamatan pekerja.
Destruksi Lingkungan dalam Jaringan Hilirisasi Nikel Pomalaa
Satya Bumi bersama Public Citizen dan Walhi Sulawesi Tenggara pada Februari 2025 menelusuri perubahan bentangan alam yang terjadi akibat aktivitas pertambangan nikel dan pembangunan Proyek Kawasan Industri Pomalaa di Kabupaten Kolaka.
Tangkapan drone perubahan bentangan alam dan pencemaran air laut, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. 26 Februari 2025. Satya Bumi/Didi Hardiana
Berdasarkan pemantauan Satya Bumi dari Website Minerba One Map Indonesia (MOMI) per bulan Februari 2025, tercatat 9 perusahaan yang aktif beroperasi di Kabupaten Kolaka.
No
Site Mining
Jenis Izin
Nama Perusahaan
Nomor SK
Tanggal Berlaku SK
Tanggal Berakhir
Luas Wilayah (Ha)
Komoditas
Kab. Kolaka Utara (mencakup Kec. Pomalaa, Baula, Tanggeteda)
Dalam hasil pemetaan yang dilakukan oleh Tim Satya Bumi, PT. Vale Indonesia di Kabupaten kolaka bertindihan dengan wilayah kawasan hutan lindung Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 5176.04 Ha. Sebagaimana kita pahami hutan lindung mempunyai fungsi pokok sebagai sistem penyangga ekosistem yang juga menyimpan habitat bagi flora dan fauna.
Tangkapan drone wilayah konsesi PT. Vale Indonesia berada di Gunung Batu Puulemo, Kecamatan Baula, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. 26 Februari 2025. Satya Bumi/Didi HardianaHasil pemetaan wilayah 20.286.00 ha konsesi PT. Vale Indonesia, sebagai tambahan menggunakan radar potensi deforestasi tahun 2019-2024, Februari 2025. Satya Bumi
Menanggapi wilayah konsesi PT. Vale Indonesia yang mencakup Kecamatan Pomalaa, Baula, Tanggetada, dan Wundulako pastinya akan berpengaruh buruk terhadap hutan primer yang ada di Kabupaten Kolaka dan tentu saja membawa kerentanan terhadap potensi bencana alam mendatang.
Di samping itu, kawasan pembangunan PT. IPIP bersebelahan dengan Cagar Alam Lamedai seluas 635,16 ha yang terdapat di Kabupaten Kolaka. Sebagaimana penetapan kawasan cagar alam sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034.
Perubahan Tipologi Lahan Kabupaten Kolaka 2019-2024
Jejak Pasok Nikel Pomalaa dan Kabaena
Dua tahun belakangan, Satya Bumi melakukan investigasi mendalam atas belasan tambang nikel di Pulau Kabaena. Sebuah pulau kecil berukuran 894 km2 disesaki izin pertambangan, yang tidak seharusnya.
Dari penelusuran ini, kami menemukan bahwa kawasan industri Pomalaa juga menerima batuan nikel dari Kabaena. Hoayou Kobalt dalam laporannya menyebutkan bahwa sumber nikel Kabaena adalah nikel dengan kualitas yang baik. Perhatian kami terpaku pada kelalaian PT Kolaka Nikel Indonesia (IPIP) yang membiarkan supply chainnya didapatkan dari sumber yang kotor akibat pelanggaran HAM serius dan perusakan lingkungan di pulau kecil Kabaena.
Potensi rantai pasok nikel dari Kabaena ke perusahaan kendaraan listrik dalam laporan Kabaena Satya Bumi 2024
Di situasi saat ini masyarakat di Kabupaten Kolaka, utamanya di Kecamatan Pomalaa hidup dalam kegelisahan dan ketakutan dalam bendungan konsesi pertambangan nikel di desanya. Tak lain kegelisahan ini terbentuk dari program ambisius “HILIRISASI” pemerintah Indonesia yang menciptakan ladang investasi asing masuk untuk menggerus sumber daya mineral di Kolaka.
Kami menyisiri pihak-pihak terkait yang ikut bermain tambang dan para kontraktor yang terlibat dalam proyek pembangunan Kawasan Industri Pomalaa.
Sebagai perusahaan automakers yang mendominasi pasar dunia, Ford Motors ikut andil dalam pendanaan pembangunan kawasan industri Pomalaa di Kolaka. Sebagaimana dalam laporan “Human Rights Progress Report 2023” Fords Motors berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia dengan menyediakan bahan baku baterai yang diproduksi secara bertanggung jawab memenuhi nilai-nilai prinsip Hak Asasi Manusia.
Alih-alih demikian, fakta justru berkata sebaliknya. Gambaran yang dialami para pekerja, masyarakat, nelayan, dan para petani, akibat pembangunan kawasan industri pomalaa untuk kebutuhan bahan baku baterai mobil listrik, sejatinya membawa petaka dan nestapa bagi masyarakat.
Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.