JAKARTA – Organisasi lingkungan Satya Bumi mengecam keras skandal penyuapan dalam kasus korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan perusahaan sawit besar dan pejabat pengadilan. Dugaan penyuapan ini menunjukkan lemahnya integritas dalam sistem peradilan serta buruknya tata kelola industri sawit di Indonesia.
Pada Sabtu, 12 April 2025, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait pengaturan vonis kasus korupsi ekspor CPO periode Januari 2021–Maret 2022. Suap tersebut diduga bertujuan memuluskan putusan lepas (onslaag) terhadap tiga korporasi tersangka dalam perkara tersebut: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
“Penyuapan ini menjadi cermin buruk tata kelola industri sawit kita. Kejaksaan sebenarnya telah membuat langkah progresif dengan menetapkan perusahaan sebagai tersangka — bukan hanya individu. Ini adalah terobosan penting dalam penegakan hukum korporasi. Sayangnya, langkah itu dicoreng oleh skandal suap di ruang pengadilan,” tegas Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, di Jakarta (15/4).
Sebelumnya, pada 19 Maret 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis lepas terhadap ketiga perusahaan tersebut. Sidang dipimpin oleh hakim Djuyamto, dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom. Pada saat itu, Arif Nuryanta menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Lemah Syahwat Pertimbangan Hakim
Keterkaitan kasus suap dengan vonis lepas itu juga dapat dilihat dari lemahnya pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus vonis onslag kasus korupsi izin ekspor CPO.
Jika merujuk pada putusan, majelis hakim menilai kerugian keuangan negara terkait perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit dalam kurun waktu Januari 2022 sampai Maret 2022 masih belum nyata dan pasti.
Selain itu, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kejahatan para korporasi bukanlah persekongkolan atau permufakatan jahat dengan niat untuk memperkaya para terdakwa yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Para Terdakwa dianggap semata-mata melaksanakan kebijakan yang telah dibuat oleh Kementerian Perdagangan RI terkait dengan tata kelola minyak goreng dan justru merugi akibat kebijakan tersebut.
Hakim juga berpendapat perkara pemberian fasilitas ekspor CPO erat hubungannya dengan perselisihan perdata dan tuntutan ganti kerugian antara para terdakwa dan Menteri Perdagangan RI yang sudah diputus PN Jakarta Pusat pada 17 Desember 2025 dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 17 Februari 2025.
Tak hanya itu, hakim juga berpendapat perkara ini sudah diproses dan selesai di tingkat peradilan tata usaha negara (PTUN) antara para terdakwa dengan Menteri Perdagangan RI. Dalam putusan itu, Ombudsman RI menyatakan Mendag RI melakukan maladministrasi dan lalai dalam pemberlakukan Permendag 12/2022 terkait bebas ekspor untuk produk CPO dan turunannya.
Sehingga dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana didakwakan dalam unsur kedua Pasal 3 UU Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan tindak pidana (onslag van alle recht vervolging).
“Kami menilai bahwa kasus ini sejak awal sudah tersistematis untuk mengaburkan para terdakwa dari tanggung jawab korporasi di perkara tipikor kasus CPO. Bila ditelusuri lebih lanjut, sebelumnya para terdakwa menggunakan celah hukum mengajukan gugatan perdata dan PTUN untuk memperkuat posisi para terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat,” imbuh Andi.
Dengan terbongkarnya skandal ini, semakin memperjelas bahwa putusan lepas terhadap ketiga korporasi tersebut cacat secara hukum dan moral. Penyuapan yang dilakukan demi membebaskan korporasi dari tanggung jawab hukum jelas merupakan bentuk kemunduran dalam upaya reformasi sektor sawit.
Tuntutan Satya Bumi:
- Kejaksaan Agung diminta untuk mengusut tuntas skandal suap ini sebagai bagian dari tindakan korupsi yang dilakukan badan hukum yakni korporasi, sehingga proses hukumnya pun harus menjangkau pengendali dari ketiga korporasi tersebut yakni Musim Mas, Permata Hijau dan WILMAR;
- Merujuk pada pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara yang menyatakan Onslag ini, terdapat dua putusan yang menjadi dasar, yakni:
- a) Putusan Perdata Nomor 230/PDT.G/2024/PN Jkt Pst tertanggal 17 Desember 2024 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 163/PDT/2025/PT DKI tanggal 17 Februari 2025;
- b) Putusan PTUN Jakarta Nomor 472/G/TF/2023/PTUN.JKT
Oleh karenanya, penting bagi aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan meluaskan proses pemeriksaan terhadap perkara-perkara tersebut.
3. Uni Eropa melalui Komisi, Competent Authorities, dan Operator harus memperhatikan dinamika kasus korupsi tersistematis yang dilakukan oleh tiga perusahaan eksportir ke pasar Uni Eropa. Pada Pasal 4 EUDR tertulis bahwa penegakan hukum merupakan salah satu faktor penentu uji tuntas sebagai non-negligible risks. Dengan demikian, perhatian khusus wajib diberikan termasuk oleh pasar internasional lain termasuk Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan lainnya.
4. Roundtable on Sustainable Palm Oil agar menjatuhkan sanksi tegas berupa penangguhan sertifikat keanggotaan terhadap grup perusahaan sawit yang terlibat, bahkan perlunya mencabut keanggotaan RSPO;
Satya Bumi menegaskan bahwa skandal ini harus menjadi momentum bagi pembenahan tata kelola industri sawit secara menyeluruh. Ke depan, komitmen terhadap keberlanjutan tidak hanya ditentukan oleh dokumen sertifikasi, tetapi juga oleh integritas hukum dan akuntabilitas publik yang nyata.