Siaran Pers Satya Bumi: Delusi Keberhasilan Transisi Energi dalam Pidato Kenegaraan Jokowi

JAKARTA – Presiden Joko Widodo menutup 10 tahun kekuasaan oligarkinya dengan berbagai delusi pencapaian yang disampaikan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2024. Ia menyatakan bahwa pembangunan transisi energi yang berkeadilan dan menjangkau masyarakat luas telah mulai diwujudkan.

Presiden Jokowi menyampaikan adanya smelter dan industri pengolahan untuk mineral nikel, bauksit, dan tembaga telah membuka lapangan kerja lebih dari 200.000 dan menambah keuntungan negara lebih dari Rp158 triliun. Namun, hal ini sangat kontradiktif dengan realitas yang terjadi di lapangan.

Misalnya saja di Sulawesi Tengah pada tahun 2023, sektor pertanian mampu menyumbang lapangan kerja 38,85% lebih banyak dibandingkan sektor pertambangan yang hanya 2,39%. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga masih diikuti dengan peningkatan angka kemiskinan, khususnya di kawasan industri smelter nikel. Di Morowali, angka kemiskinan mencapai 12,58% pada tahun 2022. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan wilayah lain yang tidak memiliki smelter.

“Dalam proyek-proyek transisi energi yang didorong pemerintah, terutama sektor pertambangan nikel yang digadang-gadang sebagai bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik, justru terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Proyek-proyek ini lebih banyak memberikan keuntungan bagi investor besar, sementara masyarakat lokal menjadi korban dari perampasan lahan, pencemaran lingkungan, dan hilangnya mata pencaharian,” ujar Direktur Eksekutif Andi Muttaqien dalam keterangan pers, Jumat (16/8/2024).

Di balik keuntungan yang disampaikan oleh presiden Jokowi, lanjut Andi, masyarakat yang tinggal di kawasan pertambangan atau smelter justru tidak menerima manfaat yang cukup, mereka harus menanggung kerugian sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan. Keuntungan industri nikel Rp158 triliun selama 8 tahun terakhir sepertinya tidak sebanding dengan potensi kerugian di masa yang akan datang.

Laporan Celios (2024) menjelaskan bahwa sampai saat ini skenario beroperasinya industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan sebesar Rp3,64 triliun dalam 15 tahun kedepan. Secara ekonomi, industri nikel juga menyebabkan kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari Rp6 triliun. Dengan mempertimbangkan buruknya kondisi udara di sekitar industri nikel, berpotensi menyebabkan 55.600 kematian dan kerugian sebesar Rp592 triliun pada tahun 2060.

Dampak lingkungan diawali dengan deforestasi akibat pembukaan lahan hutan oleh perusahaan tambang. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2023 menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai 329 tambang nikel yang telah menyebabkan deforestasi seluas 76,031 Ha hutan. Sementara pelanggaran hak asasi manusia lebih banyak dirasakan masyarakat lokal. Di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara contohnya, masyarakat adat Bajo harus menjadi korban atas transisi energi, yang alih-alih berkeadilan tapi justru destruktif dan eksploitatif. Laut sebagai tempat mereka hidup tercemar oleh limbah hasil pengolahan nikel yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian dan kebiasaan mereka untuk berenang dan menyelam.

“Sumber daya alam yang sejatinya dikelola untuk kesejahteraan bersama kini menjadi ladang eksploitasi bagi segelintir pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses politik. Masyarakat adat yang selama ini menjaga dan hidup selaras dengan alam dipaksa tersingkir dari tanah leluhur mereka tanpa adanya konsultasi yang layak dan tanpa kompensasi yang memadai,” tegas Andi.

Tidak hanya itu, Jokowi juga menyampaikan tentang ekonomi hijau dan potensi energi hijau Indonesia yang mencapai kurang lebih 3.600 giga watt, yang berasal dari air, angin, panas bumi, matahari, gelombang laut, dan bioenergi. Faktanya beberapa pembangunan energi hijau ini tidak sepenuhnya hijau karena merampas ekosistem satwa endemik Indonesia, orangutan. Sebagai contoh pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Batang Toru, Sumatera Utara yang menggeser habitat orangutan Tapanuli.

Perusakan ekosistem flora dan fauna untuk transisi energi ini berpotensi diperluas dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (RUU KSDAHE) yang menambahkan aturan tentang pemanfaatan jasa lingkungan seperti air dan energi air, angin, panas bumi di Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Belum lagi, dari sisi bioenergi, kebijakan ambisius pemerintah untuk meningkatkan bauran biodiesel hingga 50% atau B50 akan mendorong percepatan ekspansi lahan perkebunan sawit baru. Padahal, biodiesel yang menyebabkan pembukaan lahan baru menghasilkan emisi 20 kali lipat lebih besar. Saat ini ada 3,4 juta hektar hutan alam yang dibebani konsesi sawit dan berpotensi dibuka untuk perkebunan. Laporan Koalisi Masyarakat Sipil (2024) mengungkap bahwa jika pemerintah memaksakan ambisi B50 pada tahun 2025, butuh seluas 5,36 juta hektar lahan sawit dan berpotensi terjadi deforestasi seluas 1,5 juta hektar pada tahun 2039.

“Transisi energi merupakan sebuah keharusan sebagai bagian dari langkah mencapai net zero emission pada tahun 2050 yang diatur dalam Paris Agreement. Namun ternyata sepuluh tahun rezim Jokowi benar-benar memperlihatkan kehancuran lingkungan yang amat masif dengan klaim transisi energi. Untuk itu, Pemerintahan berikutnya harus menghentikan praktik yang merusak ini dan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa transisi energi yang dilakukan benar-benar berkeadilan,” pungkas Andi.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.