Ambisi pemerintahan Joko Widodo untuk menggenjot hilirisasi nikel masih menjadi momok, terutama bagi pulau-pulau kecil yang memiliki cadangan nikel melimpah. Salah satunya adalah Kabaena, pulau kecil di ujung Sulawesi Tenggara. Saat ini, sekitar 73 persen atau 650 km² dari total luas wilayah Kabaena yang mencapai 891 km² telah terisi puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kabaena secara konstitusional dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 1/2014), yang secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km².
Di Kabaena, larangan ini justru dikesampingkan. Keberadaan tambang nikel mendominasi pulau tersebut, mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan, pencemaran laut, dan dampak signifikan terhadap mata pencaharian penduduk setempat, khususnya masyarakat adat Bajau, yang menghadapi degradasi lingkungan, serta pencemaran sungai dan air laut. Selama bertahun-tahun, telah ada upaya bersama untuk mengadvokasi keadilan ekologis melalui protes terorganisasi dan tuntutan ganti rugi formal yang ditujukan kepada pemerintah daerah dan perusahaan pemegang konsesi. Tragisnya, masalah ini masih dianggap enteng. Interaksi antara kepentingan politik dan izin konsesi pertambangan di Kabaena telah berdampak signifikan terhadap bisnis pertambangan nikel di wilayah tersebut.