JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih mengecam keras skandal penyuapan dalam kasus korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan perusahaan sawit besar dan pejabat pengadilan.
Kasus suap dalam perkara vonis korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang menyeret nama Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beserta tiga orang majelis hakim yang membebaskan korporasi menjadi bukti terbaru rapuhnya integritas lembaga peradilan serta bobroknya tata kelola industri sawit di Indonesia. Skandal ini mengungkap dugaan praktik sistematis yang dilakukan oleh korporasi besar untuk menghindari jeratan hukum, bahkan hingga memengaruhi putusan pengadilan.
Penyuapan yang dilakukan demi membebaskan korporasi dari tanggung jawab hukum jelas merupakan bentuk kemunduran dalam upaya reformasi di sektor industri kelapa sawit.
Sebagai salah satu sektor yang dianggap merisikokan hutan dan lingkungan serta maraknya pelanggaran HAM, sektor kelapa sawit tak sepi dari sejumlah peristiwa pelanggaran hukum oleh aktor-aktor terkait.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra menyatakan bahwa belum tuntasnya isu terkait kebun sawit di dalam kawasan hutan yang belakangan diselesaikan dengan pengalihan sejumlah kebun-kebun bermasalah kepada BUMN untuk dikelola menandakan pemerintah cenderung mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Padahal ada sejumlah problem mendasar yang melingkupinya seperti birokrasi tata ruang dan perizinan serta masalah state capture seperti yang terjadi di dalam korupsi minyak goreng ini.
“Belum lagi kita dihadapkan pada keinginan pemerintah untuk menggenjot produksi CPO untuk pasokan energi (biofuel) yang akan terus menerus memaksa pelaku industri untuk mengkondisikan sejumlah hambatan (regulasi, daya tampung dan daya dukung lingkungan). Sementara birokrasi belum siap untuk mengimbangi laju industri agar bisa berjalan dengan mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan. Putusan (lepas) itu sendiri ada loophole di sana. Uang suap (60 miliar) itu perlu dipertanyakan dari mana sumbernya. Apakah hanya dari satu korporasi? Ini yang perlu diusut tuntas,” ujar Refki dalam media briefing di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Dari sisi internal perusahaan, meskipun komitmen keberlanjutan telah tertulis dalam kebijakan perusahaan, seringkali oknum-oknum korporasi melanggengkan sejumlah modus untuk memaksimalkan keuntungan. Praktisi sawit Mansuetus Darto memaparkan pula ada lima upaya yang kerap dilancarkan; mulai dari manipulasi laporan pemenuhan kebutuhan domestik, menggunakan perusahaan fiktif, hingga melancarkan praktik suap kepada pemangku kepentingan.
“Perusahaan-perusahaan ini mereka punya komitmen. Misalnya Wilmar punya komitmen anti korupsi, komitmen keberlanjutan, dan lain-lain. Begitupun Musim Mas dan. Pertanyaannya bagaimana bisa ada korupsi? Apa yang kurang? Bisa jadi kebijakan-kebijakan tadi tak cukup mampu membuat bisnis perusahaan lebih lancar,” ungkap Darto di kesempatan yang sama.
Tak hanya itu, problem di pemerintah tak luput dari sorotan. Pemerintah, menurut Darto, harus mereview ulang soal intervensi pasar. Pemerintah harus lebih fair secara bisnis.
Menanggapi hal tersebut, Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidaatihayaa Afra menyebut komitmen-komitmen perusahaan tersebut yang sesungguhnya tercantum dalam komitmen No-Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) tak ubahnya omong kosong semata karena pada akhirnya terjadi tindak pidana korupsi dalam korupsi.
“NDPE hanya digunakan sebagai iklan untuk memancing pembeli. Dan korupsi menyabotase, mengikis tiap lapisan tata kelola lingkungan yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan NDC Indonesia berdasarkan Perjanjian Paris,” tegas Hayaa.
Sementara jika dikaitkan dengan tiga inisiatif seperti RSPO, ISPO dan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR), menurut Hayaa, sesungguhnya bisa dicabut sertifikasi ketiga perusahaan ini.
“Sayangnya, tidak ada respons serius dari ketiga inisiatif ini. Jangan-jangan inisiatif ini cuma omong-omong di atas kertas juga. Korupsi ini tidak bisa dipisahkan dan diisolir dari tata kelola pasar dan suplai yang berkelanjutan.” lanjut Hayaa.
Kasus korupsi dalam vonis ekspor CPO ini menunjukkan betapa korupsi telah melahirkan korupsi baru di dalam sistem peradilan Indonesia. Skandal suap senilai Rp60 miliar, jauh lebih besar dibandingkan kasus suap lain seperti Ronald Tanur yang hanya Rp4 miliar, mencerminkan betapa rapuhnya integritas lembaga hukum. Terungkap bahwa pejabat pengadilan memanfaatkan kasus ini untuk menggandakan nilai suap, dengan sisa dana hasil korupsi yang bahkan belum seluruhnya ditemukan.
Menurut akademisi dari STH Jentera Grahat Nagara, situasi ini memperlihatkan bahwa praktik mafia peradilan masih merajalela hingga ke level Mahkamah Agung, di tengah lemahnya tanggapan lembaga-lembaga seperti MA dan KY atas kasus-kasus semacam ini.
Lebih jauh lagi, keterlibatan Wilmar, perusahaan yang memiliki rekam jejak panjang dalam berbagai kasus pelanggaran hukum di sektor sumber daya alam, seharusnya menjadi peringatan besar. Kasus ini memperlihatkan kegagalan mendasar dalam reforma sektor hukum dan pengelolaan sumber daya, di mana wewenang dan kepercayaan publik yang telah diberikan tidak menghasilkan perubahan berarti. Sistem peradilan yang tertutup, manipulatif, dan rentan terhadap suap hanya mempermalukan profesi yang seharusnya paling mulia di negeri ini.
“Ini harusnya menjadi catatan bagi Mahkamah Agung, mengingat sudah terlalu banyak korupsi yang dilakukan oleh mereka [hakim], karena faktanya mafia peradilan masih sangat besar,” tegas Grahat.
Berkenaan dengan hal tersebut, Koalisi Transisi Bersih mendesak agar::
- Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas skandal suap ini sebagai bagian dari tindakan korupsi yang dilakukan badan hukum yakni korporasi, sehingga proses hukumnya pun harus menjangkau pengendali dari ketiga korporasi tersebut yakni Musim Mas, Permata Hijau dan WILMAR;
- Merujuk pada pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara yang menyatakan Onslag ini, terdapat dua putusan yang menjadi dasar, yakni:
- a) Putusan Perdata Nomor 230/PDT.G/2024/PN Jkt Pst tertanggal 17 Desember 2024 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 163/PDT/2025/PT DKI tanggal 17 Februari 2025;
- b) Putusan PTUN Jakarta Nomor 472/G/TF/2023/PTUN.JKT
Oleh karenanya, penting bagi aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan meluaskan proses pemeriksaan terhadap perkara-perkara tersebut.
- Uni Eropa melalui Komisi, Competent Authorities, dan Operator harus memperhatikan dinamika kasus korupsi tersistematis yang dilakukan oleh tiga perusahaan eksportir ke pasar Uni Eropa. Pada Pasal 4 EUDR tertulis bahwa penegakan hukum merupakan salah satu faktor penentu uji tuntas sebagai non-negligible risks. Dengan demikian, perhatian khusus wajib diberikan termasuk oleh pasar internasional lain termasuk Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan lainnya.
- Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) agar menjatuhkan sanksi tegas berupa penangguhan sertifikat keanggotaan terhadap grup perusahaan sawit yang terlibat, bahkan perlunya mencabut keanggotaan RSPO;
- Lembaga keuangan agar menghentikan pembiayaan terhadap pelaku usaha yang terlibat korupsi.
- Mahkamah Agung harus benar-benar mereformasi lembaga peradilan agar dapat menjadi garda terakhir dalam memperjuangkan hak-hak atas lingkungan yang sehat.
Skandal ini harus menjadi momentum bagi pembenahan tata kelola industri sawit secara menyeluruh. Ke depan, komitmen terhadap keberlanjutan tidak hanya ditentukan oleh dokumen sertifikasi, tetapi juga oleh integritas hukum dan akuntabilitas publik yang nyata.