Satya Bumi dan Puluhan ‘Orangutan’ Gowes Bareng Ajak Jaga Hutan, Jaga Orangutan yang Makin Terancam

 

“Jaga Hutan, Jaga Orangutan!”

 

Seruan itu memantul di antara gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin dari para puluhan pesepeda saat melintas di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Jakarta, Minggu (25 Agustus 2024). 

Demi menyatukan langkah kecil menjadi suatu gerakan besar, Satya Bumi bersama Komunitas Pesepeda Chemonk dan Kamerawan Jurnalis Indonesia (KJI) mengadakan kegiatan sepeda riang gembira bertajuk BIKE FOR yOU untuk memperingati Hari Orangutan Internasional yang jatuh pada 19 Agustus tiap tahunnya. Panjang rute bersepeda yaitu 17,8 km yang melambangkan hari kemerdekaan Indonesia dengan titik start dari Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kegiatan yang diinisiasi Satya Bumi dan diikuti oleh 100 pesepeda ini bertujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran masyarakat dalam mendukung upaya perlindungan orangutan.

“Perlindungan satwa, khususnya orangutan menjadi urgensi amat penting bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati alam Indonesia,” tegas Direktur Eksekutif Andi Muttaqien, Minggu (25/8/2024).

Sebelumnya, Satya Bumi juga menyelenggarakan Webinar Hari Orangutan Sedunia: Jaga Hutan Jaga Orangutan yang dilakukan melalui media zoom pada Senin (19/8/2024). Webinar ini dihadiri oleh puluhan peserta mulai dari akademisi, aktivis lingkungan, hingga masyarakat umum yang peduli dengan konservasi.

Orangutan dianggap sebagai spesies kunci karena perannya yang sangat vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Namun, keberadaan mereka semakin terancam akibat perburuan liar, perdagangan ilegal, kebakaran hutan, dan dampak perubahan iklim.

Indonesia memiliki tiga jenis orangutan yaitu Pongo abelii, Pongo pygmaeus, dan Pongo tapanuliensis yang memiliki status Critically Endangered berdasarkan status konservasi IUCN. Sayangnya, berbagai ancaman yang ada menyebabkan populasi orangutan terus menurun setiap tahunnya. Ia juga mengaitkan kondisi ini dengan sejumlah peraturan dan strategi aksi yang telah disusun pemerintah dalam upaya melindungi orangutan.

“Sejumlah peraturan di Indonesia untuk melindungi orangutan, termasuk RUU KSDAHE yang baru disahkan pada tahun 2024 sebagai revisi UU Nomor 5 Tahun 1990, merupakan inisiatif pemerintah untuk melindungi orangutan yang berada di luar kawasan konservasi, yaitu dengan penetapan Areal Preservasi yang diatur dalam pasal 5A, pasal 8 ayat (3) dan (4), dan pasal 9. Namun, penetapan Areal Preservasi ini harus merujuk pada peta arahan yang belum diatur secara spesifik di dalam UU KSDAHE terbaru, yang dikhawatirkan akan memperpanjang proses penetapannya,” jelas Researcher Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi.

Riezcy juga menyoroti pasal-pasal yang dianggap problematik, seperti pada Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) yang mengatur pemanfaatan jasa lingkungan untuk wisata alam, air dan energi air, panas matahari, angin, panas bumi, dan karbon. Aturan ini dikhawatirkan menimbulkan misinterpretasi bagi sebagian orang dan melanggengkan sejumlah proyek yang sudah dibangun, seperti di ekosistem Batang Toru. 

Terdapat proyek PLTA Batang Toru, PLTP Sarulla, tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, dan PT Toba Pulp Lestari yang tumpang tindih dengan ekosistem Batang Toru–habitat satu-satunya bagi orangutan Tapanuli.

Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Rianda Purba menjelaskan bahwa banyak ancaman serius terhadap habitat orangutan Tapanuli akibat ekspansi industri.

“Habitat orangutan Tapanuli sedang dalam kondisi yang sangat terancam, karena adanya izin-izin proyek yang masuk, termasuk PLTA Batang Toru dijadikan PSN, sehingga memotong habitat yang mempersempit ruang gerak orangutan. Beberapa bulan terakhir terjadi penebangan secara masif dan terdapat empat sarang orangutan yang hancur. Perlu ada perencanaan tata kelola yang baik, tetapi yang terjadi justru pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan investasi”, jelasnya.

Walhi Sumatera Utara juga menerbitkan laporan yang mendesak pemerintah untuk membangun koridor orangutan yang menghubungkan hutan blok barat dengan Cagar Alam Dolok Sibual-buali yang memiliki kanopi rapat. Ekosistem Batang Toru merupakan kawasan yang rawan bencana alam sehingga perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap izin-izin industri ekstraktif di kawasan tersebut. Kehadiran proyek-proyek ini dikhawatirkan mengancam keberlanjutan ekosistem hutan dan meningkatkan risiko bencana ekologis akibat pembukaan lahan yang luas.

Di Ekosistem Leuser, Aceh, pembukaan hutan atau deforestasi juga menjadi ancaman besar bagi orangutan Sumatera. Alfarazi Kamal, GIS Officer dari Yayasan HAkA, menyoroti bahwa tren deforestasi di Ekosistem Leuser pada periode 2019-2023 cenderung menurun, tetapi di beberapa area penting justru mengalami peningkatan.

“Hampir 72% deforestasi di Ekosistem Leuser terjadi di dalam kawasan hutan, dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit sebagai ancaman utama, sehingga banyak masyarakat yang ikut merambah hutan. Kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang merupakan habitat alami orangutan semakin memprihatinkan, dengan lonjakan signifikan deforestasi pada tahun 2022-2023. Jika tren ini berlanjut, keberadaan orangutan dan satwa lain di kawasan ini akan sangat terancam”, ungkapnya.

Alfarazi juga menekankan pentingnya untuk menjaga habitat yang tersisa, memperbaiki habitat yang rusak, dan menghentikan kerusakan lebih lanjut. Di Ekosistem Leuser, upaya yang dapat dilakukan termasuk menghubungkan koridor, mencegah alih fungsi lahan, serta menyelesaikan keterlanjuran izin di dalam kawasan hutan.

Orangutan Kalimantan juga menghadapi tantangan serupa, termasuk konflik dengan masyarakat yang menganggap mereka sebagai hama di lanskap Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sulidra Fredrick, Manajer Program Penyelamatan Satwa Yayasan Palung, menjelaskan bahwa tren populasi orangutan menurun sejak 2016 akibat adanya konsesi HTI dan perkebunan sawit yang menimbulkan tantangan besar dalam perlindungan mereka.

“Yayasan Palung mendampingi masyarakat Hutan Adat yang tinggal di lanskap Kubu Raya, yang berbatasan langsung dengan konsesi HTI PT Mayawana Persada (PT MP). Menurut IUCN, konsesi PT MP ini berada di dalam habitat orangutan. Jika hutan di dalam konsesi PT MP yang menjadi habitat orangutan ini ditebang dan perusahaan tidak mau menyediakan HCV yang layak, maka bisa terjadi migrasi lokal. Salah satunya ke hutan desa, sehingga bisa menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal”

Perlindungan terhadap habitat orangutan ini harus terus disuarakan. Tanpa keberadaan orangutan, maka regenerasi hutan akan terganggu karena biji-biji tanaman hutan tidak tersebar secara alami, sehingga akan mengurangi keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan dan menyebabkan perubahan struktur di dalam hutan.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.