Oleh: Andi Muttaqien
Isu perubahan iklim lekat kaitannya dengan hak asasi manusia. Perubahan iklim mengancam penikmatan semua hak asasi manusia, utamanya hak warga negara untuk memperoleh lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan–sebagai bagian integral dari hak asasi manusia universal yang tercantum dalam resolusi Dewan PBB. Krisis iklim dan perusakan lingkungan yang saat ini masif terjadi adalah ancaman serius bagi hak asasi manusia.
Keadilan iklim membutuhkan solusi yang didasarkan pada hak asasi manusia, kesetaraan dan nondiskriminasi; partisipasi dari mereka yang paling terkena dampak; pembagian biaya, beban dan manfaat yang adil; akuntabilitas; serta supremasi hukum. Solusi juga harus mencakup pertanggungjawaban bagi para pencemar, ganti rugi bagi para korban, dan perlindungan bagi yang rentan dalam semua tindakan pencegahan, respons, mitigasi, dan perbaikan. Untuk itu, dibutuhkan adopsi kebijakan penanganan yang solutif dan sesuai dengan skala masalah dalam menyelesaikan persoalan ini.
Perjanjian Paris pada 2015– perjanjian perubahan iklim universal pertama yang mengikat secara hukum–merupakan langkah awal menuju ke arah ini. Di dalam Perjanjian Paris tercantum bahwa “seluruh negara harus menghormati, mempromosikan, dan memperhatikan tanggung jawab mereka terhadap hak asasi manusia, ketika mengambil tindakan dalam mengatasi perubahan iklim”.
Perjanjian Paris 2015 mewajibkan seluruh negara peserta untuk menurunkan tingkat emisi. Indonesia menerima norma Perjanjian Paris 2015 dengan meratifikasi perjanjian tersebut. Namun, tingkat emisi Indonesia terus meningkat akibat laju deforestasi dan degradasi hutan primer Indonesia yang menempati urutan keempat tertinggi di dunia. Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan, semakin jauh panggang dari api.
Upaya internasional mencari solusi krisis iklim
Dalam ikhtiar mencari solusi krisis iklim, perwakilan sejumlah negara yang ikut meneken Perjanjian Paris–termasuk Indonesia– berkumpul dalam Conference of the Parties (COP) ke-27 di Sharm el-Sheikh, Mesir pada November lalu. Konferensi tingkat tinggi iklim PBB yang digelar tahunan itu menyetujui langkah-langkah pembatasan kenaikan suhu global. Pertemuan tersebut membuahkan sejumlah kesepakatan, salah satunya tentang pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan atau loss and damage. Namun dari berbagai inisiatif yang dibahas, tidak ada menyertakan pengakuan dan perlindungan hak rakyat atas hutan.
Kesepakatan terkait lingkungan juga dicapai dalam perhelatan G20 di Bali pada November lalu. KTT G20 menghasilkan kesepakatan tentang pendanaan untuk proyek transisi energi, salah satunya melalui Just Energy Transition Partnership(JETP). Kesepakatan ini merupakan sinyal positif untuk mendorong percepatan transisi energi, meski skema pendanaannya belum jelas alias masih digodok.
Maka dari itu, pekerjaan rumah selanjutnya adalah memastikan berbagai kebijakan yang dibuat mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Dalam konteks ini, adil bukan hanya memperhatikan dampak lingkungan, namun juga menghormati hak asasi manusia. Skema kebijakan yang dibuat harus mengakomodir prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi–dimana pelibatan masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya menjadi keharusan.
Jangan sampai hak-hak masyarakat adat dilewatkan dalam pembuatan kebijakan, seperti halnya dalam undang-undang baru Eropa tentang deforestasi. Pembuat kebijakan Uni Eropa menyetujui EU Regulation on deforestation-free supply chains yang melarang barang-barang pertanian yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan dijual di pasar Uni Eropa. Pemasok yang menghancurkan hutan, tidak dapat menjual produk di Uni Eropa.
Kendati sebagai terobosan yang inovatif, sayangnya UE Deforestation tidak mencantumkan persyaratan bagi perusahaan untuk membuktikan bahwa mereka menghormati hak-hak masyarakat adat–tetapi hanya jika hak tersebut sudah dilindungi secara hukum di negara produsen. Pengaturan ihwal hal tersebut diserahkan kepada negara masing-masing. Celakanya, kondisi masyarakat adat di sejumlah negara–termasuk Indonesia–tidak baik-baik saja. RUU Masyarakat Adat-yang diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat–mandek di parlemen.
Masyarakat adat kunci perlindungan alam
Sekitar 82 juta hektar hutan tersisa di Indonesia, namun luasan ini terus berkurang akibat perusakan hutan yang terus berlangsung. Pendorong terbesar deforestasi ini adalah konversi hutan alam oleh korporasi, yang cenderung luput dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Areal seluas 71 juta hektar diliputi oleh izin pertambangan, perkebunan, dan penebangan; sejak 2000-2017 sebanyak 10,9 juta hektar deforestasi terjadi di dalam batas izin tersebut. ‘Deforestasi terencana’ yang sedang berlangsung ini merupakan ancaman kritis bagi keanekaragaman hayati Indonesia (FWI, 2022).
Deforestasi adalah sumber utama emisi gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim dan akan menjadi fokus pada konferensi PBB tentang Biodiversitas atau COP 15 di Montreal, Kanada pekan ini, di mana negara-negara akan mencari kesepakatan global untuk melindungi keanekaragaman hayati. Sekali lagi, kesepakatan yang diambil harus berbasis hak asasi manusia. Pendekatan ini menuntut ambisi yang tinggi serta langkah-langkah adaptasi dan mitigasi yang melibatkan masyarakat terdampak–terutama masyarakat adat. Perlindungan terhadap hak masyarakat adat merupakan kunci untuk perlindungan hutan dan biodiversitasnya. Jangan sampai masyarakat adat luput dari hiruk pikuk pembahasan mengenai krisis iklim, transisi energi, maupun keanekaragaman hayati. Padahal, tidak ada pelindung terbaik bagi alam, selain masyarakat adat.
Dalam momentum peringatan hari HAM Internasional 10 Desember ini, diperlukan refleksi dan evaluasi terhadap seluruh kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Bagaimana bisa kebijakan mengenai mitigasi krisis iklim tidak mempertimbangkan hak asasi manusia? Sementara krisis iklim adalah krisis hak asasi manusia. Indonesia sendiri, kita harus mengakui bahwa sistem dan implementasi penegakan HAM untuk memastikan perlindungan hak warga negaranya masih lemah. Kita juga belum memiliki terobosan hukum yang memadai dalam upaya menjamin hak atas lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan.
Kesadaran kolektif terhadap situasi krisis iklim mesti ditunjukkan dengan langkah-langkah mitigasi yang kuat dan berbasis hak asasi manusia. Jangan sampai kesadaran itu baru muncul saat semua penopang kehidupan sudah lenyap, atau setelah dada kita sendiri yang mengalami sesak karena tidak bisa lagi menghirup udara bersih, atau saat pangan tidak tersedia lagi untuk makan dan minum di hari esok. Masih ada sedikit waktu untuk bertindak untuk memperbaiki situasi yang kritis saat ini. Kita harus berdiri tegak membela hak-hak kita sendiri dan kelompok-kelompok masyarakat yang rentan akan dampak krisis iklim ini. Hak asasi manusia tidak sekadar melekat, sebagai hak, dia juga harus diklaim oleh pemangkunya.
Penulis adalah Co-founder sekaligus Deputi Direktur Satya Bumi