SIARAN PERS BERSAMA KOALISI TRANSISI BERSIH
B35 Beroperasi Penuh 1 Agustus: Kompetisi CPO Pangan Vs Energi Semakin Nyata
Jakarta, 2 Agustus 2023 – Program Biodiesel B35 berlaku penuh mulai 1 Agustus 2023[1]. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih mengkhawatirkan program blending minyak sawit dan solar yang terus meningkat ini akan menyebabkan potensi persaingan bahan baku antara industri pangan dan industri biodiesel semakin besar.
Hubungan kausalitas antara konsumsi pangan dan konsumsi biodiesel muncul karena keduanya menggunakan bahan baku yang sama, yakni crude palm oil atau CPO yang berasal dari sawit. Jika bauran terus-menerus meningkat, maka kebutuhan CPO untuk biodiesel juga akan meningkat dan ini akan membuat kompetisi antara sawit untuk pangan dan energi semakin tajam. Implikasinya, kondisi tersebut dapat mempengaruhi ketersediaan dan harga sejumlah bahan pangan, terutama minyak goreng–yang berarti juga mengancam kedaulatan pangan kita.
Data GAPKI menunjukkan bahwa total konsumsi CPO dalam negeri pada 2022 tercatat sebanyak 20.968 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 9.941 juta ton digunakan untuk kebutuhan pangan, 2.185 juta ton untuk oleokimia dan 8.842 juta ton untuk biodiesel. Sejauh ini memang masih lebih besar penggunaan CPO untuk pangan daripada biodiesel, namun tren kebutuhan CPO untuk biodiesel terus meningkat signifikan. Mulai dari 2.219 (2017), naik menjadi 3.824 (2018), 5.831 (2019). 7.226 (2020), 7.342 (2021), dan 8.842 (2022). Angka ini tentu akan terus bertambah seiring dengan kenaikan bauran CPO untuk biodiesel. Bisa dibayangkan kebutuhan CPO yang diperlukan jika program ini mencapai B100 seperti ambisi Presiden Joko Widodo.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengkhawatirkan dalam jangka panjang, pasokan CPO yang bakal semakin banyak tersedot untuk program biodiesel ini bisa kembali memicu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng subsidi seperti tahun lalu. Belajar dari kasus minyak goreng, kelangkaan disebabkan dari ketidakpatuhan para korporasi dalam melaksanakan Domestik Market Obligation dalam proses memperoleh perizinan kuota ekspor CPO. Hal ini terlihat dalam putusan-putusan perkara korupsi izin ekspor CPO, dimana terdapat angka selisih yang sangat besar antara kewajiban DMO dengan realisasinya. Wilmar Group: 234.722.699 liter; Permata Hijau Group: 17.247.496 liter; Musim Mas Group: 78.969.718 liter.
Melihat fakta tersebut, ujar Andi, maka sepatutnya aliran distribusi CPO ini yang perlu ditilik lebih jauh. Jika kondisi dihadapkan pada pilihan antara pangan (minyak goreng) dan energi (biodiesel), maka stok akan selalu condong bergerak untuk kebutuhan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi–dalam hal ini adalah biodiesel. Para pengusaha tentunya akan selalu lebih tertarik untuk memasok CPO untuk biodiesel ketimbang industri lainnya. Terlebih, ada insentif yang diberikan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Sehingga ke depan, pasokan CPO ditengarai akan lebih banyak bergeser untuk kebutuhan biodiesel dan mengalahkan kebutuhan industri pangan,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut belum adanya pengaturan yang jelas antara CPO untuk kebutuhan pangan dan energi semakin meniscayakan adanya kompetisi antara keduanya. “Kalau begini, maka kita akan selalu terjebak pada dua pilihan, CPO untuk pangan atau disetor untuk biofuel. Hal ini yang membuat kondisi kita semakin rentan ke depan,” ujar dia.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menyatakan, ancaman paling nyata yang akan muncul akibat program biodiesel adalah ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan energi baru tersebut. Pengembangan biodiesel punya risiko yang justru kontradiktif dengan upaya penurunan emisi dan berdampak buruk pada lingkungan. Sebanyak 80-90 persen emisi dihasilkan pada tahap perkebunan dari alih fungsi lahan, apalagi jika dibuka di lahan gambut. “Seyogyanya, transisi energi bukan hanya sekedar substitusi energi, namun juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan dari hulu hingga hilir,” ujar dia.
Berdasarkan studi berjudul Biofuels Development and Indirect Deforestation (2023), mencerminkan peningkatan permintaan biodiesel berbasis CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dimana dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, terjadi peningkatan 4,25 juta hektare lahan sawit. Dan laju peningkatan terbesar terjadi setelah 2016, tepat setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif atau subsidi untuk sawit lewat BPDPKS. Kondisi ini menunjukkan program biodiesel berpotensi menyebabkan deforestasi secara tidak langsung.
Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menekankan bahwa kebijakan energi semestinya bertujuan mengurangi dampak dari krisis iklim. “Maka kebijakan B35 seharusnya menutup ruang untuk menambah lahan baru yang akan berkontribusi terhadap deforestasi, bukan malah sebaliknya,” tuturnya.
Mengingat berbagai risiko yang dihadapi, koalisi mengingatkan pemerintah untuk tidak terus-menerus meningkatkan blending CPO dan solar tanpa pengaturan yang jelas. Pemerintah juga tidak bisa hanya mengandalkan biodiesel berbasis komoditas sawit. Perlu adanya pengembangan diversifikasi bahan baku selain CPO atau pengembangan bahan bakar nabati dari sumber bahan non-pangan, di antaranya dengan pemanfaatan minyak jelantah.
Di samping dampak lingkungan, ada risiko dampak ekonomi dan sosial seperti konflik tenurial yang berpotensi muncul dari pengembangan biodiesel berbasis sawit. Mengingat kondisi tersebut, maka penetapan standar keberlanjutan bagi biodiesel menjadi penting. Parameter yang dilihat tidak bisa hanya dampak lingkungan, melainkan juga aspek ekonomi-sosial harus dimasukkan dalam standar berkelanjutan.
________________________________________
[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230801073644-85-980236/program-biodiesel-b35-berlaku-1-agustus-2023
Koalisi Transisi Bersih adalah koalisi lembaga non-pemerintah beranggotakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terbentuk pada awal tahun 2023 yang memiliki visi bersama, yaitu pada 2030 Indonesia mencapai pembangunan rendah emisi dan berkeadilan iklim, melalui optimalisasi sawit rakyat bebas deforestasi, menjaga kedaulatan pangan dan gerakan percepatan transisi ke energi bersih.