Launching Riset: Pelanggaran HAM dan Lingkungan dibalik Rantai Pasokan Nikel untuk Kendaraan Listrik

Jakarta, 18 Mei 2023– Business & Human Rights Resource Center (BHRRC) meluncurkan hasil riset terbaru berjudul: “Menggerakkan Kendaraan Listrik: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Lingkungan dalam Rantai Pasokan Nikel di Asia Tenggara”. Peluncuran riset di Indonesia diselenggarakan bersama organisasi non-profit Satya Bumi di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta, pada Selasa lalu.

Riset BHRRC ini menyoroti dua rantai pasokan nikel penting di Asia Tenggara yang mendukung produksi kendaraan listrik global, yakni: Rio Tuba Nickel Mining Corporation (Rio Tuba) di Filipina dan dua perusahaan China, Zhejiang Huayou Cobalt (ZHC) dan CNGR Advanced Materials (CNGR) yang beroperasi di Indonesia. Adapun nikel merupakan salah satu komponen penting baterai kendaraan listrik.

Peneliti sekaligus representatif BHRRC di Asia Tenggara, Pochoy P. Labog, menyebut hasil riset yang dikerjakan bersama The Legal Rights and Natural Resources Center (LRC) Filipina dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) itu mengidentifikasi adanya pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan di dua rantai pasokan nikel penting di dua  negara tersebut — dan menghubungkan pelanggaran ini dengan perusahaan produsen baterai kendaraan listrik terbesar dunia seperti Panasonic, Tesla, dan Toyota.

Akses laporan lengkap BHRRC disini:

https://www.business-humanrights.org/en/from-us/briefings/powering-electric-vehicles-human-rights-and-environmental-abuses-in-southeast-asias-nickel-supply-chains/

Pochoy menyebut, operasi pertambangan Rio Tuba berdampak negatif langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di pulau Palawan, Filipina. Ada tuduhan mengenai pencemaran air dari kegiatan pertambangan, kurangnya Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dari masyarakat lokal dan masyarakat adat, serta hilangnya ketahanan pangan dan perusakan hutan hujan di sekitarnya.

Sementara itu, di Indonesia, bijih nikel diproses di dua kawasan industri utama di Indonesia: Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) di provinsi Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP) di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Bijih nikel ini kemudian diproses untuk membuat nikel kelas baterai buat pemasok China Zhejiang Huayou Cobalt (ZHC) dan CNGR Advanced Materials (CNGR), yang telah menandatangani kontrak pembelian dengan sejumlah perusahaan kendaraan listrik global.

Perjanjian bisnis CNGR di PT IMIP diduga secara tidak langsung berdampak pada kehidupan, kesehatan, dan lingkungan warga di Morowali, Sulawesi Tengah. Warga desa nelayan kerap mengeluhkan gangguan pernapasan, sementara mata pencaharian mereka semakin terbatas. “Operasi penambangan juga telah menyebabkan masalah lingkungan, seperti kerusakan hutan, pencemaran air dan dampak merugikan bagi kehidupan laut,” ujar dia.

Operasi bisnis ZHC juga diklaim membahayakan nyawa di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. “Ini termasuk beberapa contoh pencemaran air, dugaan perampasan tanah pertanian dan tanah adat dan kriminalisasi terhadap aktivis dan Masyarakat Adat. Investasi ZHC di PT IWIP dilaporkan telah menyebabkan dampak hak asasi manusia dan lingkungan yang serupa, seperti pencemaran empat sungai dan kawasan pesisir, banjir parah, dan pengambilalihan tanah warga,” ujar dia.

Meningkatnya insiden pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan yang terkait dengan rantai pasokan nikel ini, ujar Pochoy, menunjukkan akan mendesaknya kebutuhan untuk meningkatkan peraturan pemerintah dan uji tuntas serta keterlibatan hak asasi manusia yang lebih kuat oleh perusahaan pertambangan, perusahaan kendaraan listrik, dan investor pada kedua jenis perusahaan. Korporasi, ujar dia, harus ikut bertanggung jawab dan menghormati hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis & Hak Asasi Manusia (UNGPs). 

“Ini harus mencakup pemetaan dan pemeriksaan keseluruhan rantai pasokan di mana mineral utama untuk baterai EV diekstraksi, serta menggunakan pengaruhnya untuk memastikan penghormatan yang kuat terhadap hak asasi manusia di semua titik rantai pasokan. Ini juga menekankan perlunya peraturan pemerintah atas rantai pasokan ini,” ujar Pochoy.

Ke depan, baterai kendaraan listrik ditengarai akan memainkan peran penting dalam pergeseran menuju ekonomi netral karbon. Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengingatkan, saat dunia beralih ke sumber energi yang lebih bersih, masalah lingkungan dan hak asasi manusia tidak boleh diabaikan. Temuan mengenai ekstraksi nikel yang penuh dengan penyalahgunaan ini, ujar dia, harus diatasi dan dimitigasi jika transisi yang adil ke energi terbarukan ingin dicapai. Sayangnya, ketidakjelasan rantai pasokan baterai kendaraan listrik membuat sulit untuk mengidentifikasi, memahami, dan memulihkan pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa transparansi rantai pasokan, maka produsen baterai, perusahaan pengguna akhir, dan investor dapat lolos tanpa menangani risiko ini. Andi menegaskan bahwa energi bersih adalah energi yang memiliki risiko rendah, baik dari segi lingkungan maupun hak asasi manusia. “Jika yang dihasilkan adalah sebaliknya, maka itu jelas-jelas bukan transisi energi bersih,” ujar dia.

Komisioner Komnas HAM Saurlin P. Siagian yang turut hadir dalam acara peluncuran riset tersebut turut menegaskan bahwa kebijakan dan praktik-praktik transisi energi harus menghormati HAM. Untuk itu, dalam konteks Transisi Energi Berkeadilan alias Just Energy Transition, ujar dia, perlu membangun kolaborasi pengarusutamaan HAM dalam kebijakan dan program pemerintah. Di antaranya, melalui kajian bersama terkait perubahan iklim dan HAM, dan membangun dialog kebijakan untuk memastikan agenda, kebijakan dan praktik-praktik transisi energi menghormati HAM. 

Saat ini, ujar dia, Tim Komnas HAM tengah menggodok policy brief untuk mengantisipasi agenda transisi energi ini. “Karena agenda ini dari segi HAM belum punya referensi. Kalau misalnya muncul masalah dari agenda transisi energi, mekanismenya seperti apa, bagaimana panduannya, kemana dan kepada siapa dilaporkan? Ini belum ada. Maka dari itu, perlu disiapkan referensi hukum serta mekanisme pengajuan klaimnya,” ujar dia. “Mudah-mudahan tahun ini bisa selesai. Selanjutnya kami juga akan membuat Peraturan Komnas HAM tentang hak asasi dan iklim, mudah-mudahan tahun depan rampung”.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.