Pulau mungil seluas 837 km2 yang diapit daratan utama Sulawesi Tenggara, Pulau Muna, dan laut Banda di Selatan itu bernama Kabaena. Orang tua di sana bercerita dua puluh tahun lalu, Kabaena adalah pulau yang tidak hanya dihuni oleh manusia, namun juga keanekaragaman hayati maritim karena fungsinya sebagai penyangga ekosistem bawah laut.
Kabaena mayoritas dihuni oleh Suku Moronene dan Suku Bajau, kecil jumlah di antaranya adalah Suku Bugis. Saat ini Kabaena dihadapi dengan kehancuran ekologis (ekosida) dan pelanggaran hak asasi manusia yang akut.
Satya Bumi bersama Walhi Sulawesi Tenggara menyoroti adanya pembukaan hutan ugal-ugalan dan pencemaran laut di pulau Kabaena disebabkan 75 persen luas tanah di pulau kecil itu dibebani izin tambang nikel.
Sejumlah 25 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel tercantum pada Portal Data Perusahaan di Minerba One Data Indonesia (MODI), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Banyak di antara izinnya dikeluarkan pasca tahun 2014, di mana pada tahun itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Undang-Undang ini secara terang melarang segala bentuk eksploitasi yang dilakukan di atas pulau kecil.
Tujuannya tentu untuk menjaga pulau kecil dari kemusnahan karena karakteristiknya yang sangat rentan terhadap perubahan. Berita baiknya, UU No. 1/2014 diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang pada pokoknya menolak permohonan untuk membolehkan kegiatan pertambangan di Pulau Kecil.
Di dalam UU No. 1/2014 pulau kecil didefinisikan sebagai pulau yang ukurannya lebih kecil dari 2000 km². Luas Kabaena yang hanya 837 km² ini disesaki tambang nikel seluas 655 km².
Sampai tahun 2023, 40% IUP telah beroperasi dan pemantauan per bulan Mei 2024 dari Website Minerba One Map Indonesia (MOMI), Kementerian ESDM mencatat terdapat 15 perusahaan masih aktif, dengan luas IUP sebesar 33.724,9 Ha (lebih dari 49% berada dalam kawasan hutan).
Selain itu, dari 15 perusahaan aktif 13 diantaranya berada dalam kawasan hutan (Tabel 1). Beberapa diantaranya memasok nikel ke pemurnian nikel untuk baterai kendaraan listrik.
Tabel 1. Perusahaan tambang yang aktif di Pulau Kabaena
No | Perusahaan | Luas IUP (Ha) | Tanggal Berlaku SK | Tanggal Berakhir SK | Luas IUP Tumpang Tindih Kawasan Hutan (Ha) | ||
Hutan Lindung | Hutan Produksi | Hutan Produksi Terbatas | |||||
1 | PT Rohul Energi Indonesia | 3,450 | 8/28/2019 | 1/30/2032 | 0.51 | 3,050.88 | – |
2 | PT Tonia Mitra Sejahtera | 5,891 | 8/3/2023 | 8/3/2033 | 738.21 | – | 3,543.59 |
3 | PT Agrabudi Baramulia Mandiri | 3,940 | 8/10/2022 | 8/10/2042 | 54.36 | 976.27 | 0.52 |
4 | PT Manyoi Mandiri | 1,731.62 | 5/24/2023 | 6/15/2030 | 19.50 | 406.77 | – |
5 | PT Trias Jaya Agung | 512 | 12/8/2020 | 12/7/2030 | Tidak berada dalam kawasan hutan | ||
6 | PT Timah Investasi Mineral | 300 | 4/1/2019 | 3/31/2029 | Tidak berada dalam kawasan hutan | ||
7 | PT Bakti Bumi Sulawesi | 4,888 | 2/15/2023 | 12/26/2032 | 2,758.19 | 818.63 | 90.20 |
8 | PT Almharig | 2,018 | 12/15/2021 | 9/7/2032 | 18.89 | 6.58 | – |
9 | PT Margo Karya Mandiri | 2,128 | 10/7/2020 | 10/6/2030 | 1.25 | 159.45 | – |
10 | PT Tambang Bumi Sulawesi | 1,533 | 12/12/2022 | 12/29/2032 | Tidak berada dalam kawasan hutan | ||
11 | PT Tekonindo | 531.30 | 7/31/2019 | 4/22/2030 | 0.01 | 12.82 | 18.32 |
12 | PT Anugrah Harisma Barakah | 2,527 | 7/26/2010 | 7/25/2030 | 19.59 | 40.92 | 664.71 |
13 | PT Arga Morini Indah | 2,834.96 | 7/12/2007 | 7/11/2027 | – | – | 2,131.27 |
14 | PT Arga Morini Indotama | 1,026.00 | 2/18/2010 | 2/18/2030 | – | – | 816.35 |
15 | PT Narayana Lambale Selaras | 414.00 | 6/22/2023 | 6/22/2033 | – | – | 196.09 |
Diolah dari: https://momi.minerba.esdm.go.id/public/
Salah satu tambang nikel yang masih beroperasi besar di Kabaena adalah IUP Milik PT Anugerah Harisma Barakah (AHB), yang izinnya keluar dengan bantuan uang pelicin kepada tersangka kasus korupsi izin konsesi nikel, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Kasus ini setidaknya merugikan negara hingga Rp 4,3 triliun. Bobroknya pengawasan dan penegakan hukum, koruptifnya pola pikir pejabat publik, dan ambisi eksploitasi Pemerintah atas nikel adalah kombo yang ideal untuk merusak pulau-pulau kecil.
Gambaran nikel di atas Pulau Kabaena bisa dilihat pada peta di bawah ini:

Sepanjang Maret 2024, Satya Bumi bersama Walhi Sultra melakukan penelitian di Kabaena. Temuannya, suku Bajau menjadi masyarakat paling terdampak dari eksploitasi di Kabaena.
Desa Baliara, Kabaena Barat menjadi permukiman suku Bajau terpadat di pulau ini. Di desa ini kami menemukan air laut yang berubah warna menjadi coklat kemerahan. Warga mengaku perubahan air ini telah terjadi setidaknya sejak sepuluh tahun lalu atau sejak tambang masuk ke wilayah itu. Warga yang sebelumnya bisa mencari ikan untuk sekadar makan di kolong rumah mereka, kini harus pergi lebih jauh hingga 20 mil ke tengah laut.
Untuk menghidupi keluarga, warga harus mengeluarkan solar hingga 15 liter. Jika dibandingkan sebelum limbah nikel merusak ekosistem laut Baliara, nelayan hanya membutuhkan 2 liter solar untuk melaut. Hal ini tak ayal, membuat masyarakat Bajau di Baliara terlilit utang. Kondisi yang sebelumnya jauh dari imajinasi mereka.

Dari Baliara, kami juga mendapat cerita tiga anak di bawah lima tahun tenggelam dan meninggal di genangan limbah tambang nikel. Sebagai informasi, anak suku Bajau umumnya telah andal menyelam sejak usia tiga tahun. Namun sejak sepuluh tahun lalu, orang tua tidak lagi mengizinkan anaknya untuk berenang dan belajar menyelam di laut karena kondisi air yang parah.
Anak-anak suku Bajau telah kehilangan kemampuan paling esensial mereka sebagai suku Bajau: menyelam. Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara melihat kondisi ini sebagai pelanggaran HAM serius yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui ambisi nikelnya.

Satya Bumi secara terstruktur melihat pelanggaran yang terjadi di Kabaena melalui wawancara terhadap penduduk. Sebagian besar dari mereka mengaku mengalami gangguan kesehatan akibat berkontak langsung dengan air laut yang dijadikan tempat tambang membuang limbah.

Lebih jauh lagi, sebagian besar narasumber yang merupakan suku asli Bajau juga mengaku mengalami kesulitan perekonomian karena mereka yang sebelumnya bekerja sebagai nelayan harus berhenti bekerja karena laut telah tercemar.
Bajau di Kabaena yang hidup ratusan tahun menyatu dengan laut harus dipaksa menghentikan hubungannya dengan laut. “Kami bukan Bajau tanpa laut,” demikian pengakuan salah satu warga di Desa Puununu, Kabaena Selatan.
Hal ini juga disebabkan karena kerusakan ekosistem Kabaena. Sejumlah 94.2% narasumber kami mengaku bahwa lingkungan di Kabaena telah rusak karena nikel.

Pemerintah terus sesumbar bahwa industrialisasi nikel di Indonesia akan mensejahterakan masyarakat. Jika demikian, lantas apakah yang terjadi di Kabaena adalah gambaran kesejahteraan?
Penulis: Sayyidatiihayaa Afra