Oleh: Riezcy Cecilia Dewi & Dhany Alfalah
“Tanggal 2.2 bukan hanya peringatan harbolnas (hari belanja online nasional), lahan basah layak diberikan atensi karena perannya memerangi krisis iklim. Peringatan Hari Lahan Basah sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan kepentingan perlindungannya.”
Mengutip dari Ramsar Convention (1971), lahan basah adalah kawasan yang terdiri dari rawa, lahan berlumpur, tanah berlapis gambut, atau wilayah berair lainnya. Kawasan ini bisa terbentuk secara alami atau dibuat oleh manusia, dan mungkin berisi air yang diam atau mengalir - dengan air bisa bersifat tawar, sedikit asin, atau asin. Termasuk di dalamnya adalah bagian-bagian laut dangkal, yang pada waktu air laut surut, kedalamannya tidak lebih dari enam meter.
Tanggal 2 Februari dipilih sebagai Hari Lahan Basah untuk memperingati penandatanganan perjanjian internasional pertama yang secara khusus ditujukan untuk konservasi dan penggunaan berkelanjutan lahan basah yang dikenal sebagai Konvensi Ramsar, di Iran pada 2 Februari 1971. Pada perayaannya yang pertama pada tahun 1997, Hari Lahan Basah Sedunia ditetapkan sebagai respons terhadap pengakuan global akan pentingnya lahan basah. Selain itu, penetapan Hari Lahan Basah Sedunia juga digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai nilai dan manfaat lahan basah serta mempromosikan konservasi dan penggunaan lahan basah secara bijaksana.
Lahan basah menawarkan banyak jasa ekosistem bagi manusia, termasuk peningkatan kualitas air, mitigasi banjir, perlindungan pantai, dan perlindungan satwa liar. Banyaknya jasa ekosistem (sebagai penyeimbang ekosistem) membuat peran lahan basah menjadi sangat krusial apabila dikaitkan dengan krisis iklim yang terjadi. Terlebih salah satu fungsi lahan basah dapat menyerap dan menyimpan karbon secara alami. Sebuah studi menyebutkan hutan bakau dan lahan basah pesisir mampu menyerap karbon 10x lebih cepat dibandingkan hutan tropis dewasa. Sementara itu, hutan bakau dan lahan basah mampu menyimpan karbon 3-5x lebih besar dibandingkan hutan tropis.
Namun, lahan basah secara konstan mengalami peningkatan kerusakan setiap tahun. Menurut Global Mangrove Alliance, diperkirakan 67% mangrove telah mengalami kerusakan atau bahkan hilang, dan akan terus bertambah 1% setiap tahunnya, atau 3 – 5 kali lebih cepat dibandingkan hilangnya hutan secara global. Sepanjang 2000-2020 Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB melaporkan, Indonesia kehilangan 1,9 juta hektar hutan bakau antara tahun 2000 hingga 2020. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa dalam satu dekade terakhir, deforestasi bakau sebagian besar terjadi di hutan bakau sekunder dengan laju 16.173 hektar. hektar per tahun atau total sekitar 161.725 hektar.
Indonesia merupakan negara dengan lahan basah terluas kedua setelah Brazil. Data Global Wetlands menyebutkan Indonesia memiliki lahan basah seluas 37,68 juta Ha yang didalamnya termasuk lahan gambut seluas 22,45 juta Ha atau 59,25% lahan basah di Indonesia adalah gambut. Lebih dari 80% ekosistem gambut berstatus rusak; dengan status rusak ringan seluas 15,85 juta Ha (65,45%), rusak sedang 3,08 juta Ha (12,74%), rusak berat 1,05 juta Ha (4,35%) dan rusak sangat berat 206.935 Ha (0,85%), dengan luas total mencapai 24,66 juta Ha (Inventarisasi KLHK, 2022).
Selama periode 1985-2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alam ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain seperti konsesi tanaman industri dan kelapa sawit sebesar 47.932 km² atau seluas 6190 kali luas lapangan sepak bola (Data dari Pantau Gambut).
Data kerusakan sejalan dengan penelitian Fluet-Chouinard et al. (2023) memperkirakan bahwa 3,4 juta km² lahan basah daratan telah hilang sejak 1700, terutama untuk konversi menjadi lahan pertanian.
Kendati demikian, krisis iklim dan eksistensi lahan basah di Indonesia tidak benar-benar mendorong perlindungan lahan basah. Satya Bumi melakukan pemantauan terhadap peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG), konsesi PT Mayawana Persada berada pada KHG Sungai Durian – Sungai Kualan.
Konsesi PT Mayawana Persada membentang dari Kabupaten Ketapang hingga Kabupaten Kayong Utara di Kalimantan Barat dengan luas sebesar 138.710 Ha. Kalimantan Barat merupakan Provinsi yang memiliki lahan gambut terluas ke-4 di Indonesia. Luas lahan basah di Kalimantan Barat sebesar 3,14 juta Ha, sedangkan lahan gambutnya sebesar 1,79 juta Ha atau lebih dari 57% lahan basahnya adalah gambut. Selama 2022 – 2023 PT Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 Ha atau sebesar 0,81% gambut di Kalimantan Barat telah dirusak oleh PT Mayawana Persada. Kerusakan lahan gambut ini memberikan dampak pada lepasnya 797.775 metrik ton CO2 atau setara dengan 8.7 juta galon bensin yang terbakar (Sumber: Laporan Kerusakan Ekologis- Pelanggaran HAM PT Mayawana Persada).
Konversi lahan gambut menjadi HTI membutuhkan saluran drainase (saluran kanal) untuk mengeringkan gambut, mengingat jenis atau komoditas yang dikembangkan bukan jenis tanaman asli lahan basah, seperti tanaman akasia yang ditanam oleh PT Mayawana Persada. Pengeringan lahan gambut melalui saluran kanal dimaksudkan agar jenis yang dikembangkan dapat tumbuh dengan baik. Namun sayangnya, pengeringan ini telah memicu berbagai dampak negatif seperti gambut kering rentan terbakar, subsiden, dan emisi Gas Rumah Kaca (Wibisono & Tamrin, 2019). Apabila subsiden sudah mencapai batasnya (drainability limit), maka lahan gambut akan rentan terhadap banjir. Dalam kondisi ini, lahan gambut sudah tidak bisa dimanfaatkan untuk budidaya.
Referensi:
Fluet-Chouinard, E., Stocker, B. D., Zhang, Z., Malhotra, A., Melton, J. R., Poulter, B., … & McIntyre, P. B. (2023). Extensive global wetland loss over the past three centuries. Nature, 614(7947), 281-286.
Ramsar Convention 1971. https://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/library/scan_certified_e.pdf
https://www.unep.org/events/un-day/world-wetlands-day-2023
https://www.techint.com/en/news/2023/world-wetlands-day
Wibisono, ITC., & Tamrin, A. 2019. Paludikultur untuk Pengelolaan Risiko Bencana Terpadu pada Ekosistem Gambut. Warta Konservasi Lahan Basah, 27(3): 10-11. https://indonesia.wetlands.org/wp-content/uploads/sites/6/dlm_uploads/2020/10/WKLB-Vol.-27-No.-3-September-2019.pdf