Mayawana Persada telah melakukan deforestasi terbesar dan teragresif yang dilakukan perkebunan kayu dalam satu dekade terakhir di Indonesia. Ini merupakan salah satu kasus deforestasi terkompleks karena tak hanya kerusakan lingkungan yang terjadi, melainkan juga rusaknya habitat orangutan dan lahan gambut, perampasan lahan, pelanggaran HAM, hingga upaya intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Masyarakat sipil telah memantau aktivitas perusahaan perkebunan kayu Mayawana Persada sejak 2022 silam. Dalam kurun waktu tersebut, beragam upaya dilakukan untuk menghentikan laju deforestasi maupun upaya kriminalisasi yang dilakukan Mayawana. Sayangnya, Mayawana tetap bergeming dan tetap melanjutkan pembukaan lahan bahkan kendati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengeluarkan surat perintah penghentian aktivitas pada Maret 2024.
Sejak awal, izin usaha Mayawana mendapat sikap resistensi dari masyarakat di 14 desa yang terkena dampak konsesinya. Hal ini terjadi karena konsesi Mayawana memasuki wilayah adat, hutan adat, serta lahan milik pribadi masyarakat. Sepanjang periode 2016-2023 angka deforestasi dan perampasan tanah milik masyarakat adat dan petani meningkat pesat. Dalam kurun waktu 2016-2022, Mayawana melakukan deforestasi seluas 20.039 hektar, yang kemudian dilanjutkan secara agresif dengan membabat 17.839,96 hektar hutan hanya dalam kurun waktu setahun pada 2023. Data terakhir menunjukkan bahwa Mayawana terus melakukan deforestasi pada tahun 2024, tetapi sebagian besar terjadi sebelum adanya perintah penghentian aktivitas pembukaan hutan, yaitu seluas 3.890,31 hektar pada periode Januari-Maret 2024.
Berdasarkan Data Hansen per Mei 2025, dalam lima tahun ke belakang Provinsi Kalimantan Barat terus berada di lima besar dengan ekskalasi deforestasi tertinggi di Indonesia. Ekskalasi meningkat di tahun 2023, angka ini sejalan dengan temuan koalisi masyarakat sipil yang menunjukkan bahwa puncak aktivitas pembukaan lahan oleh Mayawana juga terjadi di 2023.