[Siaran Pers] Satya Bumi: Kerap Dianaktirikan dari Sawit, Karet dan Kakao Perlu Perbaikan Tata Kelola dengan Manfaatkan EUDR

Jakarta, 8 November 2024 – Karet dan kakao merupakan komoditas unggulan perkebunan Indonesia yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Karet menduduki posisi kedua setelah kelapa sawit dalam kontribusi terhadap ekonomi nasional, sementara kakao berada di peringkat keempat. 

Sebagai komoditas ekspor yang signifikan, keduanya memberikan sumbangan besar bagi pendapatan negara. Namun, kondisi pasar yang timpang dan ketidakadilan dalam rantai pasok menyebabkan manfaat ekonomi ini tidak sepenuhnya dirasakan oleh petani rakyat yang mendominasi kepemilikan lahan karet dan kakao.

Penurunan daya saing industri karet di Indonesia dalam satu dekade terakhir tercermin dari penyusutan luas perkebunan karet. Dari 3,60 juta hektar pada 2014, luas lahan karet turun menjadi 3,55 juta hektar pada 2022, mengakibatkan hilangnya 50 ribu hektar kebun karet. 

Di sisi lain, industri kakao sedang mengalami kenaikan harga global. Pada tahun 2024, harga kakao menyentuh puncaknya hingga 4.521 USD/ton, hampir empat kali lipat dari rata-rata harga tahun 2022 yang hanya sebesar 1.293 USD/ton. Peningkatan harga ini didorong oleh dampak perubahan iklim, terutama di wilayah produsen utama seperti Afrika Barat. Namun, di tengah kenaikan harga ini, produktivitas kakao di Indonesia justru mengalami penurunan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir, dengan rata-rata penurunan produktivitas sebesar 1,04% per tahun dalam satu dekade terakhir.

Menjawab hal itu, organisasi lingkungan Satya Bumi meluncurkan kertas kebijakan untuk dua komoditas tersebut yakni Policy Brief Menjaga Lentur Karet Indonesia: Strategi Nasional Hadapi EUDR dan Policy Brief Manis Pahit Nasib Petani Kakao Indonesia: Menangkap Peluang Penguatan Petani melalui EUDR pada Jumat, 8 November 2024.

Praktisi Komoditas Berkelanjutan Wiko Saputra melihat sejumlah musabab dalam tata kelola karet dan kakao ini. Pertama menurutnya, dominasi komoditas sawit masih kuat. Pemerintah hanya fokus pada perbaikan tata kelola sawit sehingga komoditas lain terabaikan 

“Bagaimana dominasi sawit dikurangi dengan  menggenjot di komoditi lain yang mampu bersaing dan efek ke lingkungannya lebih rendah ketimbang sawit. Supaya apa? Supaya kebun kita punya diversifikasi tanaman,” ujar Wiko dalam diskusi publik Di Balik Manis Pahit Kakao dan Lenturnya Karet : Menangkap Peluang Perbaikan dalam Lanskap EUDR, Jumat (8/11/2024)

Kedua, perusahaan besar mulai meninggalkan karet, sehingga komoditas ini didominasi petani swadaya. Ketiga, tidak ada keseimbangan antara sektor hulu dan hilir karet. Musabab keempat, tata kelola lahan yang buruk menyebabkan deforestasi oleh perkebunan karet. Kelima, rantai pasok yang kompleks dan panjang sehingga pasar tidak efisien dan menyulitkan ketelusuran. Sementara dari komoditas kakao, Wiko melihat komoditas ini kerap terlambat merespons pasar.

Dalam menghadapi situasi ini, Indonesia perlu memperhatikan intervensi pasar global yang semakin ketat, termasuk menyelaraskan tata kelola komoditas perkebunan dengan EUDR. Peneliti Satya Bumi Sayyidatihayaa Afra menyebut EUDR dapat menjadi peluang perbaikan tata kelola komoditas karet dan kakao di Indonesia. 

“Mungkin kalau tidak ada EUDR, kondisi perkebunan kita 10 atau 50 tahun mendatang akan stuck seperti ini,” jelas Hayaa dalam kesempatan yang sama. 

Namun Hayaa menegaskan bahwa Dasbor Nasional (National Dashboard) yang sedang digodok pemerintah justru bukan praktik terbaik untuk menghadapi EUDR. “National Dashboard berpotensi mempersulit petani swadaya masuk ke pasar premium dan menutup akses B to B perusahaan besar,” tegas Hayaa.

Dari sisi perusahaan, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO) menyebut pihaknya tengah bersiap dalam menghadapi EUDR. Namun tak dapat dipungkiri memang masih terdapat sejumlah tantangan untuk itu. 

“Tantangannya berupa rantai pasok yang panjang, pengumpulan informasi dan data kebun, pemenuhan dokumen legalitas, pengaturan kerahasiaan, sistem segregasi yang belum siap,” terang Asisten Direktur Eksekutif Gapkindo Uhendi Haris.

Untuk itu pihaknya tengah berupaya dengan mempercepat realisasi E-STDB, membangun sistem sendiri, menggunakan provider sertifikasi seperti Forest Stewardship Council (FSC) menggunakan provider traceability seperti Agridence dan Koltiva serta National Dashboard.

Sebagai upaya nyata untuk menjawab tantangan ini, Satya Bumi bersama SIAR telah melakukan pemetaan perkebunan karet nasional. Pemetaan tutupan perkebunan karet nasional yang diberi nama RubberX ini dilatarbelakangi ketiadaan data spasial atas perkebunan karet.

“Saat ini data mengenai luas perkebunan karet di Indonesia masih berbentuk data statistik dan hanya berupa angka, belum ada data spasial karet yang menunjukkan lokasi, persebaran, dan luas perkebunannya. Satya Bumi melihat kekosongan ini, oleh karenanya kami membuat RubberX,” ujar Peneliti Satya Bumi Riezcy Cecilia.

Data ini akan menjadi dasar bagi Indonesia sebagai eksportir utama karet alam untuk mengusung tata kelola yang lebih baik.

“Temuan awal kami, 2,5 juta hektar untuk perkebunan karet namun hanya di 23 provinsi dengan terbesar di Sumatera 1,6 juta hektar. Sementara Jawa dan Sulawesi overestimated dengan angka masing-masing 136 ribu hektar dan 287 ribu hektar. Overestimated karena di wilayah kering seperti Sulawesi dan perkotaan seperti Jawa,” jelas Peneliti SIAR Erlangga Rizky.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian RI Prayudi Syamsuri menyambut baik hasil pemetaan perkebunan karet tersebut. Kendati hasil pemetaan berbeda dengan data Badan Pusat Statistik yang mencapai 1,3 juta hektar. 

Sementara terkait implementasi EUDR, Prayudi menyebut pemerintah Indonesia akan meladeni tren pasar global termasuk regulasi dari Uni Eropa tersebut. Namun menurut Prayudi, aturan deforestasi ini juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

“Bicara EUDR, okelah tidak boleh deforestasi. Tapi mau enggak masyarakat kita kelaparan padahal di belakangnya hutan dan tidak boleh ditebang sama sekali? Jadi (hutan) kita-kita ini masih aman saja menurut saya,” ujar Prayudi.

“Menurut saya, kita bergaul dengan global dan internasional harus tetap di dadanya merah putih. Baik buruknya indonesia kita yang tinggal di situ. Ada yang harus kita selesaikan di dalam negeri sebelum kita bawa keluar ke luar negeri,” pungkas Prayudi.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.