Peluncuran Policy Paper Nikel Satya Bumi dan Aliansi Walhi Sulawesi

“Neo-ekstraktivisme di Episentrum Nikel Indonesia:

Kerapuhan Tata Kelola Pertambangan, Kerusakan Ekologis, dan Pelanggaran HAM di Bumi Celebes”


Jakarta – 9 Oktober 2023. Ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadi pemain kunci rantai nilai kendaraan elektrik global (global electric vehicles value chains) telah menimbulkan kondisi eksploitasi tambang nikel yang berlebihan. Kondisi over eksploitasi ini menandai munculnya era neo-ekstraktivisme–sebuah keadaan dimana ekstraktivas secara lebih luas dibenarkan untuk pembangunan dan peningkatan ekonomi, sekalipun industri ekstraktif ini menciptakan perampasan tanah, perusakan keanekaragaman hayati akibat penambangan terbuka atau pertambangan, mega-skala besar yang melibatkan penanaman modal asing.

Negara memainkan peran aktif dalam penerapan model neo-ekstraktivisme. Intervensi negara diasumsikan sebagai legitimasi politik atas penambangan besar-besaran, menciptakan fleksibilitas hukum, dan menyusun narasi minimalnya konsekuensi terkait dampak sosio-lingkungan terhadap wilayah ekstraktif tersebut. Peneliti Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra memaparkan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belakangan menunjukkan kecenderungan untuk menyokong tumbuhnya praktik neo-ekstraktivisme ini. Pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 dan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja semakin memperkuat arah politik pertambangan dan  tata kelola pertambangan yang berpijak pada kemudahan investasi bagi korporasi dan mengabaikan lingkungan serta hak masyarakat terdampak.

“Kebijakan-kebijakan ini cenderung bercorak regulatory capture, dimana regulasi yang secara konsisten atau berulang kali diarahkan menjauh dari kepentingan publik menuju kepentingan industri yang diatur dalam regulasi tersebut. Regulasi seperti ini akan menjauhkan komitmen pemerintah untuk menyediakan instrumen hukum dan keadilan lingkungan,” ujar Hayaa dalam acara peluncuran kertas kebijakan atau policy paper bertajuk “Neo-ekstraktivisme di Epicentrum Nikel Indonesia: Kerapuhan Tata Kelola Pertambangan, Kerusakan Ekologis, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Bumi Celebes” yang digelar pada Senin, 9 Oktober 2023 di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta. 

Hadir pula dalam acara tersebut, Direktur Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin; Direktur Walhi Sulawesi Tengah Sunardi Katili; dan Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman. Selaku penanggap, Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro; Guru Besar FH UI Andri G. Wibisana; dan Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Minerba Kementerian ESDM Dedi Supriyanto.

Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin menyampaikan, eksploitasi besar-besaran sumber daya alam tanpa diikuti upaya mengembangkan tata kelola pertambangan yang kuat, memiliki konsekuensi serius akan terjadinya kerusakan ekologis serta pelanggaran hak asasi manusia. Risiko kerusakan lingkungan serta pelanggaran HAM dalam rantai nilai nikel itu telah terefleksikan di Sulawesi, salah satu daerah penghasil cadangan nikel terbesar di Indonesia.

Di Sulawesi Selatan, ujar Amin, ambisi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik telah mempercepat kerusakan lingkungan (hutan hujan hingga pesisir dan laut) serta pemiskinan rakyat, khususnya masyarakat adat dan perempuan di Sulawesi Selatan. Misalnya, salah satu konsesi perusahaan tambang nikel terbesar di Sulsel, yakni PT Vale mengancam keberadaan lumbung merica Nusantara yang berada di Blok Tanamalia atau Pegunungan Lumereo-Lengkona, tepatnya di Desa Loeha dan Desa Rante Angin dengan total luasan konsesi mencapai 17.776,78 hektar. Pada wilayah konsesi tersebut juga terdapat perkebunan merica milik ribuan masyarakat yang telah diolah sejak dulu di Loeha Raya seluas 4.239,8 hektar. “Keberadaan PT. Vale mengancam keberlangsungan hidup ribuan petani di Loeha Raya,” tuturnya.

Di Sulawesi Tengah, masifnya aktivitas pertambangan nikel semakin menambah laju deforestasi. Hutan hujan alam yang terdapat dalam konsesi pertambangan nikel terbesar berada di Sulawesi Tengah dengan luas lebih dari 200.000 hektar. Deforestasi terbesar juga terjadi di Sulawesi Tengah dengan luasan mencapai 722.624.05 hektar, 18 tahun terakhir sejak 2001-2019.  Ekspansi tambang nikel untuk belakangan semakin memperburuk keadaan. Direktur Walhi Sulawesi Tengah Sunardi Katili menyebut,  banjir yang menerjang 362 hektar sawah di 8 desa di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara pada 2020 silam diduga karena deforestasi yang terjadi akibat ekspansi tambang nikel. Kejadian serupa terjadi pada 2022, banjir merendam dua desa di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali berdampak kepada 500 KK, sebanyak 350 KK di antaranya harus mengungsi. Tahun 2023, banjir merendam 7 desa, 2 kecamatan di Kabupaten Morowali Utara, intensitas hujan tinggi mengakibatkan sungai Laa meluap dan berdampak pada 1.833 KK, pemukiman dan fasilitas umum juga sawah terendam air setinggi 1 meter.

“Debu pembakaran batu bara PLTU Captive yang menyokong operasi tambang nikel juga menyebabkan penyakit infeksi saluran nafas akut (ISPA), 52 % warga yang memeriksa kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan milik pemerintah,” tuturnya. 

Di Sulawesi Tenggara, WALHI juga mencatat berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang nikel maupun pasca tambang. Di antaranya; perubahan bentang alam dengan teknik open pit (bukit menjadi daratan bahkan menjadi kubangan, aliran sungai terputus bahkan menjadi kering); menyebabkan kekeringan lahan pertanian karena sumber air dikuasai oleh perusahaan tambang, dan juga pengaruh debu yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan; erosi semakin meningkat karena berkurangnya areal resapan air; pencemaran terhadap aliran sungai, baik karena sedimen maupun limbah beracun; berkurangnya populasi dan habitat satwa-satwa endemik karena kerusakan ekosistem kawasan dan degradasi kawasan hutan.

“Pencemaran oleh limbah beracun juga sangat tinggi di titik lokasi pembuangan tailing untuk pertambangan mineral sedangkan untuk batubara pada proses distribusi dan sangat rentan mencemari sungai, muara sungai dan laut,” ujar Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman. 

Andi mengatakan, kasus kriminalisasi akibat konflik warga dengan perusahaan tambang nikel juga meningkat. Berdasarkan Kasus yang ditangani WALHI dari tahun 2019-2023 ada sekitar 32 orang yang dikriminalisasi (dilaporkan di APH) dan 2 orang di tangkap, 14 orang mengalami penganiayaan.

Berdasarkan kajian dan temuan lapangan yang menunjukkan banyaknya risiko lingkungan dan dampak hak asasi manusia akibat kegiatan tambang nikel tersebut, Satya Bumi bersama Aliansi Walhi Sulawesi mengusulkan perlunya dilakukan reformasi kebijakan tata kelola pertambangan yang berkelanjutan dan berbasis pada hak asasi manusia. Di samping itu, kami mendesak kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk melakukan moratorium penerbitan izin-izin tambang mineral kritis di Sulawesi. Sementara itu, Menteri ESDM dan KLHK perlu meninjau ulang izin-izin tambang nikel di Sulawesi, khususnya yang mencemari lingkungan dan berkonflik dengan masyarakat serta moratorium penerbitan IPPKH untuk perusahaan tambang nikel.

Sedangkan kepada seluruh pemerintah, perusahan dan lembaga keuangan internasional diharapkan dapat menjalankan kebijakan ekstrateritorial untuk mencegah aktivitas dan investasi perusahaan, lembaga keuangan pada perusahaan tambang atau industri nikel di Sulawesi; memantau aktivitas dan investasi perusahaan dan lembaga keuangan internasional pada perusahaan tambang nikel di Sulawesi; serta memastikan investasi perusahaan dan lembaga keuangan internasional tidak digunakan untuk memobilisasi militer dan polisi bersenjata untuk pengamanan tambang.

Tanggapan Pemerintah dan Komnas HAM

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, setiap tahapan proses pertambangan memang rentan akan potensi pelanggaran HAM, mulai dari sebelum operasi, saat operasi, hingga setelah operasi tambang. Namun, persoalannya, dalam konteks tata kelola tambang, untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan industri atau bisnis merupakan pelanggaran HAM, bukanlah perkara sederhana. 

“Kita bisa bilang bahwa terjadi kerusakan lingkungan, pelanggaran hak pekerja, dsb akibat tambang, tapi untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM yang bisa dipidana dengan kategori pelanggaran HAM berat, itu belum ada yang berhasil dilakukan di Indonesia. Mengapa? karena memang kerangka hukumnya selama ini belum tersedia,” ujar Atnike.

Baru pekan lalu, ujar Atnike, Presiden RI Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia atau Stranas BHAM. Aturan anyar ini, ujar Atnike, semestinya bisa dijadikan dasar mendorong penguatan nilai-nilai HAM di dunia bisnis. “Perpres ini bisa menjadi pintu masuk untuk mendesak pembentukan regulasi yang mendorong nilai HAM di dalam praktik bisnis, khususnya sektor tambang, yang selama ini abu-abu–tidak ada yang spesifik mengatur soal kebijakan HAM, hanya kebijakan lingkungan saja. Padahal HAM dan lingkungan itu tidak bisa dipisahkan,” ujar dia.

Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Minerba Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto mengakui bahwa pemerintah memang harus melakukan sejumlah perbaikan dalam tata kelola pertambangan, terutama dengan semakin masifnya ekspansi tambang nikel untuk pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Namun, ujar dia, hal tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab ESDM semata, melainkan juga lintas kementerian/lembaga yang terkait.

Sesuai amanat Pasal 33 ayat (3), ujar Dedi, sumber daya alam benar-benar harus dimanfaatkan dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. “Jadi penting untuk mengedepankan community engagement untuk menciptakan public trust. Sebagai contoh,  tambang di Australia, kalau mereka mau menambang di suatu wilayah itu, harus ada izin dulu dari suku Aborigin. Kalau di Indonesia, ada banyak suku adat. Jadi memang harus ada perbaikan regulasi ke arah sana, mengutamakan kepentingan masyarakat,” tuturnya.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.