“Stop meraup keuntungan dari mereka yang tergusur dan dimiskinkan. AIIB wajib bertanggung jawab penuh untuk merumahkan kembali dan memulihkan mata pencaharian seluruh korban penggusuran proyek pariwisata Mandalika secara adil, transparan tanpa paksaan dan diskriminatif”
Indonesia, 25 September 2023 – Asian Infrastructure Development Bank (AIIB) menggelar Pertemuan Tahunan (Annual Meeting) di Sharm El Sheikh International Congress Center (SHICC), Mesir, 25 – 26 September 2023. Pertemuan ini dikehendaki untuk membahas pencapaian AIIB termasuk berdialog dengan shareholder, masyarakat sipil, pelaku bisnis, dan ahli. Di Indonesia, pinjaman AIIB salah satunya mengucur melalui Proyek Pembangunan Infrastruktur Pariwisata Mandalika sebesar Rp 4.366.074.000.000,00 ($248,4 juta). Namun, proyek Mandalika tersebut tidak bisa dikatakan berhasil dan tidak sepatutnya dirayakan dalam Annual Meeting AIIB. Sebab, masalah penggusuran, penghilangan mata pencaharian, pemiskinan, hingga penghinaan terus terjadi di sepanjang proses pembangunannya. Hal tersebut menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Sasak, utamanya hak atas mata kehidupan dan permukiman yang layak.
AIIB banyak memberikan janji besar untuk menegakkan standar transparansi melalui Environmental and Social Framework (ESF). AIIB mengklaim bahwa mereka telah “bekerja dengan masyarakat untuk meminimalkan dan memitigasi, atau bahkan menghindari, dampak proyek yang merugikan.” Kemudian sebagai klien AIIB, ITDC, dalam rencana pemukiman kembali mengkondisikan tiga hal penting yang harus dilaksanakan berdasarkan ESF AIIB yakni, semua masyarakat yang terkena dampak proyek mendapatkan: 1) pemukiman kembali yang adil; 2) pemberian kompensasi atas hilangnya harta benda jika terjadi penggusuran; dan 3) restorasi atas hilangnya mata pencaharian.
Namun penelusuran yang dilakukan oleh Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) menemukan, bahwa AIIB dan ITDC berkali-kali gagal memenuhi janji besarnya dalam pembangunan proyek. Selama empat tahun sejak tahun 2019, masyarakat yang terkena dampak proyek di Mandalika hidup dalam ketidakpastian dan kemiskinan yang parah. Masyarakat menghadapi penggusuran dan pengungsian karena ketidaksesuaian rencana pemukiman kembali dan implementasi di lapangan. Masyarakat juga tidak mendapatkan perbaikan kehidupan seperti yang dijanjikan. Mereka kehilangan mata pencaharian akibat hilangnya ladang dan pantai mereka untuk pembangunan infrastruktur sirkuit Mandalika.Kondisi mengungsi yang dilalui masyarakat terdampak terjadi karena jumlah dan kualitas pemukiman kembali tidak mungkin menampung seluruh masyarakat terdampak. KPPII mencatat setidaknya terdapat 188 kepala keluarga yang terdampak dengan lebih dari 500 individu. Namun, pada praktiknya jumlah rumah yang disediakan hanya sejumlah 120 unit. Hingga tahun 2019 hanya 61 KK yang memiliki akses untuk masuk ke rumah di pemukiman kembali. Ini artinya ada sekitar 127 KK yang hidup terkatung-katung pasca penggusuran 2018. 11 KK (8 diantaranya keluarga muda) diantara 127 KK itu tinggal di Dusun Ebunut dan mereka sama sekali tidak pernah menerima sensus—dan dikecualikan dari proses pemukiman kembali. Kondisi ini menidakmungkinkan mayoritas keluarga muda tersebut untuk mendapatkan kompensasi. Kondisi ini memperlihatkan kegagalan AIIB dalam menjalankan akuntabilitas mendasar. AIIB tiba-tiba membebankan tanggung jawab transparansi dan akuntabilitas ke ITDC sehingga ITDC bekerja dalam atmosfer yang hampir mustahil untuk diawasi.
Permasalahan lain yang sepatutnya dijawab oleh AIIB, sebelum mengklaim implementasi proyek telah berjalan sesuai rencana, adalah jumlah kompensasi yang tidak sepadan. AIIB melalui ITDC menentukan bahwa per-KK terdampak akan mendapatkan uang sebesar Rp10 juta dengan pembagian: Rp5 juta untuk uang muka rumah relokasi dan Rp2 juta untuk mengurus administrasi perumahan. Praktis masyarakat hanya mendapatkan Rp3 juta. KPPII mewawancarai 79 KK yang mengkonfirmasi bahwa mereka tidak tahu seharusnya mereka mendapatkan Rp10 juta, dan mereka hanya menerima Rp3 juta tanpa tanda terima apapun. Padahal umumnya sebelum sirkuit Mandalika ada, masyarakat Sasak bisa mendapatkan Rp2,5-Rp7 juta per bulan. Uang kompensasi senilai Rp3 juta rupiah sama sekali jauh dari kelayakan.
Temuan KPPII menunjukkan pelanggaran yang konsisten dan sistematis terhadap tiga komitmen RAP untuk menyediakan pemukiman kembali, kompensasi atas kehilangan harta benda selama proses tersebut dan pemulihan mata pencaharian. Alih-alih memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, kegagalan AIIB dan ITDC dalam memenuhi persyaratan ini malah menyebabkan meningkatnya penderitaan di antara ratusan keluarga yang telah digusur. Mereka tidak hanya kehilangan tanah, rumah, dan sumber pendapatan, namun juga mengalami ketidakpastian selama bertahun-tahun. Akibatnya, banyak dari mereka yang menumpuk utang dalam jumlah besar kepada tetangga dan bank non-konvensional, seringkali berjumlah jutaan atau puluhan juta, untuk menutupi pengeluaran sehari-hari, biaya sekolah anak-anak mereka, dan bahkan bahan-bahan untuk pembangunan rumah baru akibat penggusuran.
AIIB jelas telah melanggar ESF mereka dalam proyek Mandalika. Oleh karena, itu pada momentum Annual Meeting AIIB 2023, kami meminta Presiden, Board hingga manajemen AIIB untuk membahas secara serius dan transparan upaya pemukiman kembali dan pemulihan mata pencaharian seluruh masyarakat yang terdampak proyek pariwisata Mandalika tanpa terkecuali. Selain itu, Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia menuntut Presiden dan pengawas AIIB agar segera mengungkap audit tanah dan penilaian ulang data pemukiman kembali ITDC beserta dokumentasi yang merinci pembayaran tunai dan bank untuk kompensasi. Semua hal tersebut harus dilaksanakan sebelum AIIB menyelesaikan kontrak kerja dengan ITDC pada September 2024.
Melalui pernyataan pers ini, masyarakat korban proyek AIIB di Mandalika menuntut kepada AIIB untuk:
1) Segera berikan salinan atau bukti sertifikat tanah dan rumah untuk 61 Keluarga Terdampak yang saat ini berada di lokasi pemukiman kembali permanen di Desa Ngolang, atau dikenal dengan ‘Silaq’.
2) Segera merumahkan kembali Keluarga Terdampak yang terdampar di area penampungan sementara yang oleh masyarakat dikenal dengan ‘Penampungan Hijrah’.
3) Menyediakan hunian yang layak bagi warga sekaligus memberdayakan mereka dengan memberikan hak untuk menentukan lokasi yang tidak terputus dari akses mata pencaharian mereka.
4) Memberikan ganti rugi yang layak atas penggusuran rumah yang setara dengan biaya pembangunan rumah semi permanen yang dibutuhkan yang didasarkan pada harga bahan bangunan di kawasan Mandalika.
5) Memberikan pemulihan kehidupan bagi warga yang terkena dampak berdasarkan jumlah orang, bukan hanya kepala keluarga, berdasarkan nilai mata pencaharian yang hilang.
6) Menghentikan penggusuran sampai pemukiman kembali yang adil, kompensasi dan persyaratan pemulihan mata pencaharian telah disepakati secara konsultatif dengan semua orang yang terkena dampak proyek.
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII);
Satya Bumi
LSBH NTB
ASLI Mandalika
WALHI NTB
Just Finance International
AGRA
Both ENDS