Sudah hampir dua dekade, sejak tambang nikel mewarnai keseharian Pulau Kabaena. Debu dari jalan hauling, suara alat berat, dan hiruk-pikuk aktivitas eksploitasi kini menjadi latar belakang kehidupan masyarakat, terutama bagi komunitas suku Bajau yang tinggal di pesisir. Aktivitas ini tidak hanya mengubah rupa bumi dan warna laut, tetapi juga secara perlahan membawa risiko tersembunyi, paparan logam berat yang mengendap di tubuh masyarakat Pulau Kabaena.
Logam berat seperti nikel, timbal, dan kadmium memiliki sifat yang tidak dapat terurai, menjadikannya sangat berbahaya karena dapat terakumulasi melalui berbagai jalur: debu yang dihirup, air yang digunakan untuk mandi dan minum, tanaman yang tumbuh di tanah tercemar, hingga makanan laut yang selama ini menjadi sumber gizi utama masyarakat Bajau. Dengan laut sebagai dapur utama mereka, perubahan kualitas lingkungan berarti ancaman langsung bagi kesehatan.
Untuk menilai sejauh mana tubuh masyarakat terpengaruh, dilakukan biomonitoring berbasis urin terhadap sebagian warga Bajau. Langkah ini menjadi jendela awal untuk melihat dampak tersembunyi dari tambang nikel terhadap kesehatan masyarakat, sebuah risiko yang tak kasatmata, namun nyata mengintai dalam senyap.

Nikel (Ni): Paparan Lingkungan yang Menyerupai Pekerja Industri
Paparan nikel di Kabaena tidak lagi sekadar dugaan, data urin penduduk menunjukkan bukti kuat bahwa logam ini telah meresap ke dalam tubuh manusia secara masif. Konsentrasi nikel dalam urin penduduk Kabaena berkisar antara 4,77 hingga 36,07 µg/L, dengan rata-rata 16,65 µg/L. Nilai ini jauh melampaui kadar normal pada populasi umum. Sebagai perbandingan, data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 2017–2018 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa median konsentrasi nikel dalam urin masyarakat umum hanya sebesar 1,11 µg/L. Bahkan di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, median kadar nikel dalam urin masyarakat adalah 3,63 µg/L, dan pada komunitas yang tinggal dekat dengan smelter nikel di Norwegia tercatat 3,4 µg/L.
Dengan kata lain, masyarakat Kabaena terpapar nikel sebesar 5 hingga 30 kali lebih tinggi dibanding populasi umum, dan bahkan 1,5 hingga 10 kali lebih tinggi dari komunitas yang tinggal di dekat fasilitas industri nikel aktif. Fakta ini menunjukkan adanya paparan lingkungan yang ekstrem, yang tidak hanya merata secara geografis tetapi juga intens secara biologis.
Lebih mengejutkan lagi, kadar nikel urin pada masyarakat umum di Kabaena mendekati, dan dalam beberapa kasus menyamai kadar urin pekerja industri nikel. Sebuah studi menemukan bahwa pekerja di fasilitas pemurnian nikel menunjukkan kadar nikel urin rata-rata 53,3 µg/L, dengan batas paparan tentatif sebesar 12 µg/L yang diasosiasikan dengan konsentrasi 0,05 mg/m³ di udara tempat kerja. Penelitian lain juga melaporkan rata-rata 12 µg/L pada pekerja kilang nikel. Kenyataan bahwa penduduk non-pekerja di Kabaena mencatat nilai rata-rata yang melampaui ambang paparan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat umum telah terpapar pada tingkat yang, secara teoritis, sebanding dengan mereka yang bekerja langsung dalam industri pengolahan nikel.
Paparan nikel terhadap manusia dapat terjadi secara langsung, salah satunya melalui udara yang terkontaminasi. Dampak awal yang paling umum adalah gangguan pada saluran pernapasan dan reaksi alergi yang menyebabkan gatal-gatal pada kulit. Data dari Puskesmas Kabaena Barat dan Kabaena Selatan menunjukkan bahwa Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan penyakit kulit secara konsisten masuk dalam 10 besar penyakit terbanyak selama 15 tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan adanya masalah kesehatan yang berulang dan kemungkinan berkaitan dengan pencemaran lingkungan.
Namun, paparan kronik (jangka panjang) nikel bukanlah hal sepele. Studi menunjukkan bahwa adanya nikel dalam tubuh menyebabkan stres oksidatif dengan meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh, yang merusak sel dan DNA. Selain itu, nikel juga dapat menstimulasi pelepasan zat pemicu peradangan (sitokin), menyebabkan inflamasi sistemik berkepanjangan yang dapat merusak jaringan tubuh. Pada organ pankreas, nikel dapat mengganggu fungsi sel β yang bertugas memproduksi insulin, sehingga memicu penurunan produksi insulin dan pada akhirnya meningkatkan risiko terkena diabetes mellitus tipe 2 (DM II). Ketiga proses ini, stres oksidatif, inflamasi sistemik, dan disfungsi sel β pankreas, merupakan gangguan pada sistem metabolisme tubuh, sehingga nikel tidak hanya mengganggu pernapasan atau kulit, tetapi juga sebagai jalur biologis utama dalam perkembangan penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan berbagai jenis kanker.

Kadmium (Cd): Indikator Awal Kerusakan Ginjal
Konsentrasi kadmium dalam urin yang diperoleh berkisar antara 0,23 hingga 1,04 µg/g kreatinin dengan rata-rata 0,68 µg/g kreatinin, Paparan kadmium bersifat kumulatif dan dikenal sebagai zat yang sangat beracun bagi ginjal (nefrotoksik), terutama bagian tubulus pada ginjal yang berfungsi menyaring dan menyerap zat-zat penting.
Faktor usia dan jenis kelamin berkontribusi terhadap kadar kadmium dalam tubuh, dengan perempuan dan kelompok usia lanjut biasanya menunjukkan akumulasi yang lebih tinggi. Namun, kondisi di Kabaena berbeda, justru urin anak-anak menunjukkan kadar kadmium tertinggi karena kebiasaan mereka berenang di pesisir, wilayah yang sebelumnya juga teridentifikasi memiliki air laut dengan kadar kadmium tinggi dan melewati ambang baku mutu yang disyaratkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini memperlihatkan bagaimana pola hidup tradisional mereka kini mempercepat bioakumulasi racun. Kontaminasi laut, yang berasal dari aktivitas tambang di darat, menjadi jalur paparan yang tak disadari dan terus terjadi.

Kadmium dikenal sebagai logam berat dengan toksisitas tinggi dan bersifat kumulatif, artinya semakin lama terpapar, semakin banyak pula yang tertimbun dalam tubuh. Organ target utama dari kadmium adalah ginjal, khususnya pada bagian tubulus yang bertugas menyaring zat berbahaya. Laporan terdahulu menyatakan bahwa paparan kronik kadmium berkaitan erat dengan peningkatan risiko kanker, penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), hingga kematian dini.
Sebagai tambahan, kadar kreatinin dalam urin dari beberapa sampel rata-rata bernilai 202,38 mg/dl dengan rentang 70,4 hingga 308,2 mg/dl. Nilai tersebut mendekati bahkan melebihi ambang batas normal, yaitu 226 mg/dl untuk perempuan dan 278 mg/dl untuk laki-laki. Kadar kreatinin merupakan parameter biologis yang umum digunakan untuk menilai fungsi ginjal. Tingginya kadar kreatinin mengindikasikan beban kerja ginjal yang tidak normal, yang berindikasi pada paparan logam berat, terutama kadmium.
Timbal (Pb): Racun Kronis Tanpa Ambang Batas Aman
Kadar timbal dalam urin berkisar antara 0,32 hingga 2,53 µg/L, dengan nilai rata-rata 1,08 µg/L atau lebih dari dua kali lipat kisaran median populasi Amerika Serikat (0,45 µg/L). Meskipun timbal bukan logam berat utama yang terdeteksi di Kabaena, indikasi paparan tetap signifikan dan memerlukan perhatian serius, khususnya pada individu dengan nilai yang mendekati atau melebihi 2 µg/L.
Urin bukanlah biomarker yang paling sensitif untuk menilai paparan timbal karena sifat timbal yang cenderung mengendap dalam jaringan tulang dan darah selama bertahun-tahun, sehingga proses pembuangan zat sisa metabolisme dan racun dalam tubuh (ekskresi) melalui urin hanya mencerminkan sebagian kecil dari total beban tubuh. Oleh karena itu, kadar timbal dalam urin yang tampak “normal” belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya, dan bisa saja menutupi akumulasi yang lebih tinggi dalam jaringan.
Parahnya, WHO menegaskan bahwa tidak ada ambang batas paparan timbal yang dapat dianggap aman, terutama bagi anak-anak. Paparan sekecil apapun telah dikaitkan dengan penurunan IQ, gangguan perilaku, serta hambatan dalam perkembangan saraf dan kognitif pada anak-anak. Pada orang dewasa, paparan jangka panjang dapat meningkatkan risiko hipertensi, gangguan ginjal, dan penyakit kardiovaskular. Maka dari itu, meskipun kadar urin timbal masih berada dalam kisaran yang sering dianggap “tidak tinggi”, risiko kesehatan tetap nyata.
Seng (Zn): Logam Esensial yang Berpotensi Menjadi Racun
Konsentrasi seng urin penduduk kabaena berkisar antara 700 hingga 1800 µg/L, dengan rata-rata 1271,4 µg/L, jauh melampaui rata-rata kisaran seng urin penduduk Amerika Serikat (150-1200 µg/L). Meskipun seng merupakan elemen esensial yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil untuk mendukung fungsi imun, penyembuhan luka, dan aktivitas enzimatik, kadar yang berlebihan dalam tubuh dapat menjadi indikator adanya paparan lingkungan yang tidak normal.
Paparan seng dalam jumlah tinggi secara kronik dapat menyebabkan gangguan metabolisme tembaga dan zat besi dalam tubuh, menurunkan kadar high-density lipoprotein (kolesterol baik), serta menimbulkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan sakit perut. Dalam jangka panjang, kelebihan seng juga dikaitkan dengan gangguan fungsi sistem imun dan stres oksidatif akibat ketidakseimbangan kandungan logam dalam tubuh. Hal ini menjadi lebih mengkhawatirkan ketika paparan logam berat lain seperti kadmium atau timbal terjadi secara simultan dapat menyebabkan interaksi antar elemen tersebut. Interaksi ini dapat memperparah toksisitas melalui mekanisme kompetisi pada jalur transport seluler atau sistem ekskresi.
Ancaman Terhadap Hak Atas Kehidupan yang Layak

Situasi di Kabaena menunjukkan bahwa persoalan lingkungan tidak hanya soal perubahan bentang alam, tapi juga tentang racun tak kasatmata yang menyusup ke dalam tubuh masyarakat. Desa Baliara tampak menjadi pusat paparan logam berat yang paling parah dibanding Desa lainnya, yang mana ini sejalan melihat lokasi pertambangan nikel yang berjarak kurang dari 2 km disertai dengan penampakan air laut yang memerah.
Ironisnya, mayoritas warga yang diperiksa bukan pekerja tambang. Mereka adalah nelayan, petani, ibu rumah tangga, bahkan anak-anak. Namun, tubuh mereka menyimpan logam berat seolah mereka bekerja di pusat peleburan nikel. Adanya kandungan logam berat yang tinggi pada anak-anak, menandakan ancaman lintas generasi yang menimpa komunitas Bajau di Kabaena.
Penulis: Dhany Alfalah
Supervisi: Dr. Kathrin Schilling (Colombia University)