Catatan Kritis Satya Bumi: Langkah Mundur dan Nir-Ambisi Deklarasi Lingkungan Hidup ASEAN

Di tengah gelombang panas yang menyengat kawasan Asia Tenggara, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersepakat untuk menyusun rancangan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Dalam rancangan tersebut, ASEAN mengakui hak atas lingkungan yang bersih, aman, berkelanjutan dan berkeadilan. Rancangan itu juga mengakui hak dalam melakukan berbagai bentuk dan upaya perlindungan lingkungan serta menjamin keamanan pihak-pihak yang melakukannya. Tak ketinggalan, draf itu juga menyebut hak-hak kelompok perempuan, anak-anak, minoritas, disabilitas dan kelompok rentan lainnya untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait kepentingan lingkungan hidup.

Kendati cukup dinilai merespons persoalan yang ada, Satya Bumi menemukan sejumlah catatan kritis yang dapat dipertimbangkan ulang demi penyempurnaan rancangan tersebut.

Pertama, draf deklarasi ini sama sekali tidak menyebut akuntabilitas perusahaan terhadap masalah lingkungan hidup yang ditimbulkan. Pasal 19 pada draft Maret 2024 mengenai akses keadilan justru terkesan melepaskan pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan lingkungan yang terjadi.

Berdasarkan standar internasional, United Guiding Principles on Business and Human Rights dan komentar yang dibuat oleh Pelapor Khusus, David Boyd terhadapnya menyatakan bahwa negara harus memastikan bisnis untuk melakukan asesmen pelanggaran HAM dan lingkungan dalam framework due diligence, dan kemudian untuk memberikan remedi.

Pasal 19 mengenai akses keadilan memasukkan klausula ‘to be determined by a court or competent authorities’ justru akan membuat akses menjadi panjang dan melelahkan untuk korban pelanggaran. Padahal dalam standar internasional tersebut di atas, bisnis harusnya mampu memprediksi potensi kerusakan dan pelanggaran untuk kemudian dicegah dan diberikan remedi jika terlanjur terjadi. Perspektif ‘institusionalis’ pada bab mengenai Akses Keadilan justru hanya akan memberi beban ganda pada korban pelanggaran HAM dan lingkungan.

Kami melihat, dalam rancangan itu pula, negara seolah angkat tangan atas apa yang dilakukan perusahaan pelaku perusak lingkungan. Tak ada klausul yang menyebut kewajiban negara dalam mengatur sektor bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Padahal, sebagian besar masalah lingkungan muncul akibat eksploitasi kekayaan alam yang masif dan destruktif yang dilakukan korporasi. Belum lagi absennya sanksi lingkungan hidup jika negara anggota tidak melaksanakan hak-hak warga negara sesuai yang termaktub dalam deklarasi.

Langkah Mundur Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup

 

Kedua, kendati mengklaim penyusunannya melibatkan banyak pihak termasuk lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lingkungan, penyusunan draf tersebut masih belum cukup demokratis, tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Akibatnya banyak aspek penting yang terlewat, misalnya kewajiban negara anggota untuk memiliki mekanisme perhitungan planetary boundaries yang didukung dengan data saintifik dan mutakhir.

Konsultasi publik draf ini hanya dilakukan selama lima minggu hingga akhir April 2024 lalu. Jelas ini bukanlah gestur serius dari ASEAN dalam pelibatan partisipasi publik dalam finalisasi deklarasi yang akan diadopsi pada pertemuan non blok ASEAN di Laos, Oktober mendatang.

Rancangan ini masih terlalu sederhana, tidak ambisius, dan justru melangkah mundur. Hal ini mengingat masalah lingkungan di Asia Tenggara sudah sedemikian kompleks, masif dan membutuhkan penyelesaian konkrit. Asia Tenggara adalah rumah bagi mineral kritis untuk transisi energi yang membuatnya berhadapan langsung dengan planetary crisis: perubahan iklim, hilangnya biodiversitas, polusi dan kerusakan lingkungan.

Terakhir, kami menilai penting untuk dicatat, International Court of Justice (ICJ) pada 2012 mengeluarkan pernyataansikap mengenai Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN karena dipandang tidak sejalan dengan semangat perlindungan HAM yang tertuang di perjanjian dan standar HAM internasional.

Lebih daripada itu, ICJ mencatat bahwa hal ini terjadi karena masukan yang dibawa oleh masyarakat sipil tidak direfleksikan dalam Deklarasi tersebut. Agar kondisi yang kontraproduktif ini tidak terulang, Deklarasi Lingkungan Hidup dan HAM ASEAN sepatutnya sejalan konsisten dengan perkembangan standar internasional, mengakomodir secara serius masukan masyarakat sipil, dan mengadopsi ketentuan yang kuat bagi setiap negara anggota.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.