[Siaran Pers] Mulai dari Aparat hingga Pejabat: Satya Bumi Ungkap Aktor yang Terlibat Tambang Nikel di Kabaena

Jakarta, 19 Juni 2025 – Nama Purnawirawan Jenderal Kepolisian hingga Istri Gubernur Sulawesi Tenggara teridentifikasi memiliki keterlibatan dengan pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Dua dari tiga pertambangan nikel di Kabaena wilayah Buton Tengah dipimpin oleh Achmad Fachruz Zaman, mantan Direktur Direktorat Samapta Kepolisian Republik Indonesia, yakni PT Arga Morini Indah (AMI) dan PT Arga Morini Indotama (AMINDO). Keterlibatan anggota kepolisian dan politisi dalam pertambangan nikel berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, khususnya berkaitan dengan perizinan dan pengawasan tambang.

Kajian Satya Bumi mengungkapkan selain memiliki keterikatan dengan pejabat kepolisian, PT AMI dan PT AMINDO juga memiliki hubungan dengan Arif Kurniawan, Direktur Utama PT Rowan Sukses Investama, pemegang saham kedua perusahaan tersebut. Arif Kurniawan memiliki kedekatan dengan Arinta Nila Hapsari, Istri Gubernur Sulawesi Tenggara. Arif juga pemilik manfaat dari PT Dua Delapan Resources yang berkaitan dengan pembelian saham PT Tonia Mitra Sejahtera, perusahaan tambang nikel yang telah melakukan deforestasi pada hutan lindung di Kabaena.

 

Aktivitas tambang nikel PT AMINDO di dekat Desa Wulu, Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buton Tengah.

 

“Ketika ada orang penting di balik perusahaan, biasanya mereka lebih leluasa saat melakukan pertambangan. Kami sempat mewawancarai warga dan mendapatkan informasi bahwa setiap pengambilan hasil tambang, ada aparat kepolisian yang mendampingi,” ujar Juru Kampanye Satya Bumi, Dhany Alfalah dalam peluncuran kajian bertajuk “Kabaena Jilid II: Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dan Jejaring Politically Exposed Person” di Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Dalam pantauan Satya Bumi, ada 16 perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Kabaena, totalnya mencapai 37.894,05 ha, dan 10 perusahaan di antaranya memiliki IUP yang tumpang tindih dengan hutan lindung. Aktivitas pertambangan dilarang berada di Kawasan hutan lindung karena berpotensi merusak fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air, mencegah banjir, pengendali erosi, pencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Melalui data deforestasi Hansen, Satya Bumi mendeteksi adanya peringatan deforestasi sejak 2001 – 2024 pada area konsesi PT Arga Morini Indah (AMI) seluas 506,55 ha. Hal yang serupa terjadi pada PT Arga Morini Indotama (AMINDO), di mana peringatan deforestasi sejak 2002 – 2024 seluas 194,51 ha.

“Kami akan mendalami dulu, kalau secara aturan seperti kegiatan tambang ini selain aktivitas kehutanan, bisa dilakukan apabila punya izin dan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi, jadi kalau hutan lindung itu tidak diizinkan,” ujar Taqiuddin, Kasubdit Penindakan Perambahan Hutan Dirjen Penegakkan Hukum, Kementerian Kehutanan dalam peluncuran kajian Kabaena Jilid II.

Dalam konteks Kabaena, izin usaha tidak berlaku mengingat Kabaena masuk dalam kategori pulau kecil. Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil telah melarang aktivitas pertambangan mineral di pulau kecil. Aturan ini juga diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023.

Satu perusahaan lain yang berada di Kawasan Buton Tengah, Pulau Kabaena adalah PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dengan luas IUP mencapai 2.528,11 ha, dan 19,59 ha diantaranya berada di Kawasan hutan lindung. Salah satu direktur PT AHB adalah Widdi Aswindi yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) dan konsultan pemenangan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.

Nama pengusaha besar seperti Jhonlin Group dan Wilmar juga terkait dengan aktivitas pertambangan nikel di Kabaena. Kepemilikan saham PT AHB didominasi oleh PT Billy International dan PT Arjuna Cakra Bintang (ACB). Adapun kepemilikan saham dominan PT ACB dipegang oleh H. Samsudin Andi Arsyad (Haji Isam) pemilik Jhonlin Group. Selain Haji Isam, 20% saham PT ACB dimiliki oleh Drs. Sutanto yang merupakan Presiden Komisaris di PT Wilmar Nabati Indonesia.

 

Hasil dari Dua Dekade Aktivitas Pertambangan di Kabaena

Aktivitas pertambangan nikel di Kabaena wilayah Buton Tengah telah berkontribusi pada deforestasi masif, pencemaran lingkungan yang parah hingga menurunkan pendapatan masyarakat mencapai 69,4%.

Sementara itu, sedimentasi tambang nikel tidak hanya mengubah warna air laut Kabaena, tapi juga menimbulkan penyakit kulit bagi warga dan menghilangkan tangkapan nelayan. Akibatnya, nelayan harus melaut 4-5 km dari daratan dan menambah ongkos bahan bakar mereka. Tidak jarang banyak nelayan yang tidak melaut karena tidak mampu membeli bahan bakar.

 

“Sebagai seorang nelayan, sebetulnya penduduk Kabaena tidak jauh dari laut. Jadi saat laut tercemar, mereka akan melakukan kongkak, sebuah kegiatan bermalam di laut di pulau yang cukup jauh di daerah Kolaka Utara, lalu hasil tangkapan dari sana baru dibawa ke Pulau Kabaena,” ujar Kasman, anak nelayan Suku Bajau.

“Dampak dari hadirnya pertambangan di Pulau Kabaena, singkatnya saat ada tambang yang sejahtera adalah karyawan (pertambangan). Pemerintah desa dan pemerintah daerah hanya jadi pengemis ke pemerintah pusat. Sebetulnya, pemerintah sudah mengatur dana bagi hasil, dalam kacamata kami, dana bagi hasil harusnya lebih besar untuk penghasil (warga Kabaena),” ujar Sahrul Gelo, Aktivis LSM Sagori.

Saat ini, masyarakat Kabaena juga dihantui bahaya kesehatan, khususnya berkaitan dengan penyakit kulit dan pernapasan. Satya Bumi melakukan wawancara dengan 62 orang untuk melihat dampak kesehatan dan lingkungan akibat pertambangan nikel, dan hasilnya 43,6% responden mengalami dampak kesehatan. Data ini terlihat tidak signifikan karena beberapa masyarakat tidak menyadari bahwa penyakit yang mereka alami datang dari limbah aktivitas pertambangan nikel.

Sedimentasi lumpur tambang yang menggerus wilayah tanam rumput laut.

Tidak hanya manusia, keanekaragaman hayati di sekitar Pulau Kabaena juga terancam hilang akibat limbah industri nikel. Sedimentasi pertambangan nikel yang masuk ke laut berpotensi mengancam jalur migrasi satwa langka, penyu belimbing. Aktivitas pertambangan juga mengancam ekosistem satwa di darat, yaitu monyet ekor panjang, yang mana PulauKabaena adalah satu satunya lokasi di Pulau Sulawesi yang dihuni satwa tersebut.

Alih-alih melahirkan kesejahteraan, industri nikel yang erat dengan penguasaan pemodal besar justru menghasilkan banyak dampak buruk bagi lingkungan maupun kehidupan masyarakat Kabaena. Satya Bumi menilai, perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan tata kelola industri nikel di pulau kecil, khususnya Kabaena. Berikut adalah rekomendasi Satya Bumi:

Rekomendasi untuk Pemerintah:

  • Melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Kabaena, termasuk yang tumpang tindih dengan hutan lindung;
  • Mencabut izin usaha pertambangan milik tiga perusahaan di Kabaena, yaitu PT AMI, PT AMINDO, dan PT AHB, serta seluruh izin pertambangan lainnya yang beroperasi di Pulau Kabaena;
  • Meninjau kembali Pasal 162 Undang-Undang Minerba Tahun 2020 yang memungkinkan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan, sebagaimana dijamin oleh Resolusi PBB A/RES/76/300;
  • Membuka secara terbuka pembahasan revisi RTRW Provinsi Sultra kepada publik sebagai bentuk prinsip transparansi dari pemerintah dalam menjalankan asas pemerintahan yang baik (good governances).

Rekomendasi untuk Pelaku Usaha Pertambangan:

  • Menghentikan seluruh kegiatan eksplorasi maupun operasi produksi;
  • Memulihkan segala kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang diakibatkan dari konstruksi dan operasional kegiatan tambang;
  • Menyelesaikan secara adil dan transparan seluruh proses ganti rugi lahan kepada pemilik atau pengelola yang sah;
  • Membuka informasi kepada publik terhadap persetujuan menambang oleh masyarakat dalam konteks bila memang sudah dilakukan FPIC.

Rekomendasi untuk Mitra Rantai Pasok Usaha Pertambangan:

  • Meninjau kembali seluruh bentuk kemitraan atau pembelian bahan baku dari perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Kabaena;
  • Menghentikan kerjasama dengan perusahaan yang terbukti merusak lingkungan, melanggar hak masyarakat adat atau lokal, dan tidak mematuhi standar keberlanjutan;
  • Meningkatkan transparansi rantai pasok dengan menyediakan informasi publik mengenai seluruh perusahaan yang terlibat dalam kegiatan rantai pasok;
  • Melaksanakan uji tuntas (Due Diligence) secara ketat sesuai dengan OECD Due Diligence Guidance for Responsible Supply Chains of Minerals, dengan menilai risiko lingkungan dan HAM di seluruh rantai pasok, melibatkan pemangku kepentingan lokal, serta memastikan tindakan mitigasi dan remediasi terhadap pelanggaran yang terjadi.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.