[Siaran Pers] Penundaan dan Amandemen Bikin EUDR Diskriminatif, Komisi Eropa Harus Tarik Proposal Penundaan

JAKARTA – Parlemen Eropa baru saja mengadopsi proposal penundaan selama 1 tahun. Keputusan ini diambil dalam voting yang dilakukan Kamis, 14 November 2024 waktu setempat. Hal ini merupakan tahapan yang dilakukan paska proposal penundaan implementasi Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang diajukan Komisi Uni Eropa pada Rabu, 2 Oktober 2024 lalu.

Namun, tidak hanya penundaan selama 1 tahun, sidang Parlemen Eropa juga telah menghasilkan adanya 8 amandemen  terhadap teks EUDR pada amandemen 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11.

Amandemen krusial untuk dikritisi: Peraturan tersebut menetapkan sistem empat tingkatan untuk penilaian negara atau bagian dari negara. Selain high, low dan standard, maka akan ada kategori keempat yakni no risk category atau ‘Tanpa Risiko’.

Kategori negara ‘Tanpa Risiko’ tidak memerlukan due diligence & otoritas perlu mengaudit 0,1% impor dari negara-negara ini. ‘Tanpa Risiko’ mengacu pada negara atau bagiannya yang memenuhi kriteria penilaian berikut:

  • Pengembangan kawasan hutan tetap stabil atau meningkat dibandingkan dengan tahun 1990;
  • Perjanjian Iklim Paris dan konvensi internasional tentang hak asasi manusia dan pencegahan deforestasi ditandatangani oleh negara-negara dan bagiannya;
  • Peraturan yang ditegakkan tentang pencegahan deforestasi dan konservasi hutan di tingkat nasional dilaksanakan secara ketat dengan transparansi penuh dan dipantau

Satya Bumi menganggap bahwa penundaan ini adalah langkah mundur dalam upaya menekan laju deforestasi di tingkat global. Padahal, kebutuhan perbaikan manajemen hutan dan komoditas penyebab deforestasi merupakan urgensi yang amat mendesak.  

“Penambahan klausul no risk category yang dihasilkan dari amandemen merupakan bentuk diskriminasi terang-terangan terhadap negara produsen yang lebih rentan terhadap deforestasi, seperti Indonesia, Malaysia, Brazil dan lainnya,” ujar Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien, Jumat (15/11/2024). Karena ketentuan tersebut akan berpotensi guna melindungi negara anggota, namun menekan Indonesia maupun negara produsen lainnya yang berpotensi dikategorikan high risk.

Tindakan ini, imbuh Andi, dapat menimbulkan ketidakadilan kompetitif, karena pelaku industri di negara produsen harus menanggung beban pembuktian bebas deforestasi yang lebih tinggi, sedangkan negara anggota yang dikategorikan no risk mungkin dibebaskan dari persyaratan ketat yang sama.

Pilihan diskriminasi ini diawali oleh European People’s Party (EPP) yang mengusulkan dalam amandemen terhadap teks EUDR. Demikian pula paska voting, EPP telah menyatakan bahwa amandemen tersebut (no risk category) prioritasnya adalah untuk memastikan bahwa negara anggota dengan manajemen hutannya yang baik dapat diklasifikasi sebagai zero risk.

Pernyataan EPP tersebut menunjukkan perlakuan berbeda terhadap negara produsen. “Kami menyatakan bahwa tak ada negara di dunia yang tak mengalami degradasi dan penggundulan hutan, dan regulasi EUDR ini wajib diterapkan secara setara tanpa diskriminatif,” tegas Andi.

Selain itu, adanya penambahan kategori no risk mungkin mendorong perusahaan Eropa untuk beralih dari pemasok di negara dengan label high risk ke pemasok di negara-negara no risk, yang akan menguntungkan produsen besar di Eropa. Tentunya ini akan memperburuk ketegangan antara negara produsen dengan Uni Eropa.

Selanjutnya, EU Parliament akan mengirimkan naskah perubahan ini ke Council dan keduanya perlu menyepakati teks yang berubah tersebut, dan mengejar waktu sampai sebelum berakhir tahun 2024 ini. Hal lain yang dapat dilakukan adalah Presiden Komisi Eropa harus menarik proposal penundaan tersebut kembali agar EUDR dapat berjalan sesuai waktunya di 1 Januari 2025

Krisis iklim tak kenal kompromi, dan setiap keputusan yang menunda aksi nyata adalah satu langkah lebih dekat menuju titik tanpa jalan kembali. Inilah momen krusial: apakah kita memilih bertindak tegas dan setara, atau membiarkan bumi kita kian tenggelam dalam bayang-bayang deforestasi dan krisis iklim yang makin parah?

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Advisor

Annisa Rahmawati is a woman environmental activist. She started her career in 2008 as a Local Governance Advisor on a humanitarian program in Aceh - at EU-GTZ International Service which focused on peacekeeping and local government capacity building. Her experience in sustainable business comes from Fairtrade International as an assistant and at Greenpeace Southeast Asia as a Senior Forest Campaigner focusing on market campaigns for industrial commodities, especially deforestation-free palm oil from 2013-2020. In addition, Annisa also worked as a project assistant at UN-ESCAP Bangkok for sustainable urban development planning in 2012. Annisa has an educational background in Biology from Brawijaya University Malang and obtained a master's degree in International Management of Resources and Environment (IMRE) at TU Bergakademie Freiberg Germany with the support of the Heinrich Boell Stiftung Foundation. Annisa is enthusiastic and passionate about spreading messages and awareness to the world about environmental issues and how to find solutions to make businesses more responsible, as well as how we can act to deal with the climate crisis that we are currently facing.