[SIARAN PERS] EUDR Ditunda, Indonesia Hadapi Risiko Deforestasi Tanpa Kendali

JAKARTA – Satya Bumi menyayangkan proposal penundaan implementasi Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang diumumkan Komisi Uni Eropa pada Rabu, 2 Oktober 2024. Komisi Uni Eropa meminta pemberlakukan EUDR yang seharusnya mulai pada Januari 2025, diundur hingga 12 bulan ke depan. Pertimbangan Komisi Uni Eropa ialah lantaran tiga bulan sebelum tanggal pelaksanaan yang dimaksudkan, beberapa mitra global telah berulang kali menyampaikan kekhawatiran tentang tingkat kesiapan mereka atas EUDR, yang terbaru adalah dari United Nations General Assembly di New York.

Penundaan implementasi EUDR merupakan langkah mundur dalam upaya menekan laju deforestasi di tingkat global. Padahal, kebutuhan perbaikan manajemen hutan dan komoditas penyebab deforestasi merupakan urgensi yang amat mendesak. Dalam konteks Indonesia, alih-alih diskriminatif dan merugikan, EUDR justru memberikan dampak positif dan angin segar dari mandeknya perbaikan yang dijanjikan oleh pemerintah. Penundaan EUDR hanya akan membuang kesempatan pemerintah Indonesia dalam mempercepat perbaikan tata kelola komoditas, sementara kiamat iklim akibat deforestasi juga tak bisa dijadwal ulang.

“Indonesia membutuhkan peraturan seperti EUDR karena berpotensi melindungi 17.1 juta hutan alam yang kini berada dalam konsesi, 2.6 juta ha diantaranya adalah hutan alam dalam konsesi kelapa sawit. Bayangkan, apa yang dapat terjadi dalam kurun 12 bulan masa penundaan tersebut? Berapa banyak hutan Indonesia yang akan terdeforestasi?”jelas Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien di Jakarta, Jumat (4/10/2024).

Menurutnya, Parlemen Uni Eropa harus memastikan implementasi EUDR yang direncanakan diundur harus mampu mendorong kerjasama perbaikan yang menyeluruh dan tidak bias pada kepentingan industri.

Hasil penelitian kami menunjukkan, daya tampung dan daya dukung ekologi Indonesia batas maksimum ‘cap’ kebun sawit sebesar 18,15 juta ha. Badan Informasi Geospasial Indonesia menyatakan saat ini luas kebun sawit di Indonesia mencapai 17,3 juta ha. Artinya, ambisi ekspansi dari satu produk saja: biodiesel, akan mengantarkan Indonesia untuk menjemput kiamat iklimnya sendiri.

“Jika pada akhirnya pengajuan ini disetujui Parlemen Uni Eropa dan Dewan, maka kami berharap agar dalam periode 12 bulan itu digunakan sebaik-baiknya oleh para negara produsen untuk mempersiapkan diri. Bukan malah Uni Eropa mengotak-atik regulasi tersebut dan membuatnya menjadi lebih lemah,” imbuh Andi.

Silang kepentingan yang selama ini dimenangkan kepentingan bisnis harus dihentikan dan mulai mengarah pada kebijakan yang berkiblat pada perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

“Parlemen Uni Eropa dan negara anggota EU harus mempertahankan integritas mereka untuk mendorong implementasi EUDR tanpa perubahan dan penundaan,” pungkas Andi.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Advisor

Annisa Rahmawati is a woman environmental activist. She started her career in 2008 as a Local Governance Advisor on a humanitarian program in Aceh - at EU-GTZ International Service which focused on peacekeeping and local government capacity building. Her experience in sustainable business comes from Fairtrade International as an assistant and at Greenpeace Southeast Asia as a Senior Forest Campaigner focusing on market campaigns for industrial commodities, especially deforestation-free palm oil from 2013-2020. In addition, Annisa also worked as a project assistant at UN-ESCAP Bangkok for sustainable urban development planning in 2012. Annisa has an educational background in Biology from Brawijaya University Malang and obtained a master's degree in International Management of Resources and Environment (IMRE) at TU Bergakademie Freiberg Germany with the support of the Heinrich Boell Stiftung Foundation. Annisa is enthusiastic and passionate about spreading messages and awareness to the world about environmental issues and how to find solutions to make businesses more responsible, as well as how we can act to deal with the climate crisis that we are currently facing.