Setengah tahun jelang diberlaku kannya regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), Indonesia nampaknya masih jauh dari mapan untuk berkompetisi di pasar Uni Eropa. Kendati demikian, bukan berarti Indonesia tak bisa melakukan apapun dalam menyiapkan diri menghadapi keniscayaan regulasi Uni Eropa tersebut.

Penerapan EUDR ditujukan untuk mengurangi hilangnya tutupan hutan dunia yang mencapai 420 juta ha sepanjang tahun 1990 – 2020. Indonesia sejatinya dapat memanfaatkan EUDR untuk membantu menjaga lingkungan sekaligus menaikan nilai tawar komoditas hutan dalam negeri, membantu mengakselerasi tata kelola perkebunan Indonesia menjadi lebih transparan dan berkelanjutan. 

Menggandeng sejumlah organisasi lokal, Satya Bumi menggelar rangkaian diskusi Masa Depan Komoditas Perkebunan Indonesia di Tengah Penerapan Regulasi EUDR di tiga kota, Kendari, Pontianak dan Gorontalo pada 19, 21 dan 22 Mei 2025.

“Indonesia adalah penghasil komoditi terbesar dengan komoditi unggul adalah kelapa sawit dan berada di urutan keempat dengan kontribusi 10% (ekspor ke eropa). Sayangnya, dua komoditas unggul ini, sawit dan kayu, sangat erat dengan laju deforestasi,” ucap Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia dalam diskusi di Kendari (19/05/2025).

Dalam 75 tahun terakhir, laju deforestasi di Indonesia tinggi, ada sekitar 70% hutan di Sumatera dan 50% hutan di Kalimantan yang hilang, disusul dengan kerusakan hutan di Papua. Dua komoditas yang erat dengan laju deforestasi adalah sawit dan kayu. Meskipun dampak pembukaan hutan akibat dua sektor komoditas ini tinggi, akan tetapi rencana perluasan industri sawit terus terjadi. Ada program Sulawesi Palm Oil Belt yang akan membuka jutaan hektar hutan untuk perkebunan kelapa sawit. 

Hal lain yang patut disoroti dalam menyambut implementasi EUDR adalah kesiapan petani kecil dalam memenuhi syarat EUDR. Dari 2,6 juta petani, hanya sebagian kecil yang sudah memiliki sertifikat elektronik kepemilikan lahan. Salah satu kendala yang dihadapi petani adalah kemampuan geolokasi atau penggunaan teknologi pemetaan untuk mengukur lahan mereka. Sehingga, butuh bantuan pemerintah dalam mendukung petani dan mewujudkan inklusivitas EUDR. 

Menurut perwakilan Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Kalimantan Barat, Diah Ariyani, saat ini belum ada dukungan yang datang ke petani untuk menghadapi EUDR. Petani butuh sosialisasi, peningkatan kapasitas dan pendampingan. Di lapangan, banyak petani yang kesulitan mengurus sertifikat tanah bukan hanya karena batasan pengetahuan, tapi juga akses yang panjang sehingga petani butuh waktu dan tenaga yang besar saat akan mengurus sertifikat lahan mereka. 

Pemerintah Indonesia sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap EUDR. Pemerintah menilai, EUDR masih tidak jelas dan dinilai diskriminatif. Di sisi lain, beberapa industri dan produsen komoditas pertanian di Indonesia telah menyatakan kesiapannya menghadapi EUDR. Kerja pemerintah Indonesia tidak lagi dimulai dari nol, dan di sisi lain, Indonesia juga dapat mengakselerasi komoditas pertaniannya ke arah produk berkelanjutan. 

Pemerintah Indonesia tampak setengah hati dalam menyambut EUDR, selain menolak EUDR, pemerintah Indonesia sempat membuat national dashboard Indonesia (NDI) yang justru membuat data rantai pasok komoditas sawit tidak transparan. Ketidakjelasan sikap pemerintah akan menambah sulit petani dan produsen pertanian Indonesia menghadapi pasar Eropa. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, Uni Eropa merupakan salah satu destinasi ekspor terbesar, nilainya mencapai 16 miliar dolar AS sejak Januari – November 2024. Mengabaikan EUDR dapat menimbulkan tantangan baru bagi produk Indonesia di pasar Eropa.

Dalam diskusi di Pontianak, Analis Kebijakan Dinas Perkebunan dan Pertanian, Andi Arizal menyampaikan potensi besar perkebunan di Indonesia, khususnya sawit. Namun juga menyepakati bahwa kita juga harus memperhatikan sektor lain yang menjadi prioritas EUDR. Pemerintah, khususnya Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat menyadari beberapa kekurangan pemahaman terkait EUDR, untuk itu butuh ada kerja sama dengan mitra strategis seperti petani dan organisasi masyarakat sipil untuk mempersiapkan diri menyambut EUDR. 

Kepala Bidang Penataan dan Pengkajian Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Gorontalo, Nasruddin juga menyampaikan butuhnya kemitraan dengan stakeholder untuk mengembangkan penelitian terkait tata kelola lingkungan yang juga dapat mendukung implementasi EUDR. 

Implementasi EUDR, menurutnya, dapat membantu menghentikan laju deforestasi dan degradasi lahan yang mencapai 40.000 – 50.000 ha setiap tahun di Provinsi Gorontalo. Nasruddin dan DLHK menyadari bahwa pertumbuhan penduduk akan berdampak pada peningkatan kebutuhan pangan berbasis penggunaan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini akan menjadi tantangan EUDR, akan tetapi dalam paparannya, segala bentuk pembangunan harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup. 

Berikut rekomendasi masyarakat sipil untuk pemerintah Indonesia sebelum Desember 2025:

 

Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.