Surabaya – Satya Bumi, Greenpeace, Koalisi Transisi Bersih, dan Human Rights Law Studies (HRLS) Universitas Airlangga menggelar diskusi publik bertajuk “Membedah Putusan Sidang Kasus Korupsi Izin Ekspor CPO” di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya pada Jumat (1/3/2024). 

 

Kasus korupsi izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) berawal dari kenaikan harga CPO di pasaran pada periode Januari – Maret 2022. Hal ini memicu perusahaan sawit berbondong-bondong lebih memilih mengekspor CPO ke luar negeri dan mengakibatkan pasokan minyak sawit dalam negeri berkurang.

 

Menanggapi permasalahan ini, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya yang tentunya tak disambut baik oleh pengusaha.

 

Kebijakan ini mendorong sejumlah perusahaan untuk memilih jalan pintas, yaitu dengan menyuap sejumlah orang di Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan persetujuan ekspor.

 

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien menyebut kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah demi mengurai masalah minyak goreng tidak ditangani dengan baik. Dalam semester pertama tahun 2020 saja, terang Andi, ada sekitar 6 atau 7 regulasi yang menangani ekspor CPO untuk mengatur harga minyak goreng. 

 

“Pemerintah tidak kuasa menahan apa yang dilakukan oleh pengusaha, dan tidak bisa merealisasikan pengaturan distribusi minyak goreng di masyarakat. Ironisnya, sejumlah korporasi ini memberikan hadiah kepada pejabat yang memberikan persetujuan izin ekspor CPO,” jelas Andi Muttaqien di Surabaya, Jumat (1/3/2024).

 

Atas rangkaian peristiwa tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan lima orang sebagai tersangka tindak pidana korupsi korupsi izin ekspor CPO. Yakni Stanley Ma, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana, Lin Che Wei yang berperan sebagai konsultan, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor dan General Affairs PT Musim Mas Pierre Tonggang Sitanggang.

 

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung mendakwa para pelaku melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 

 

Dalam tuntutannya, Kejaksaan Agung menemukan adanya kerugian perekonomian keuangan negara akibat dari persetujuan ekspor yang diberikan kepada tiga grup usaha, yaitu Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau. 

 

Namun, putusan Majelis Hakim Pengadilan pada Januari 2023 dinilai tidak tepat. Salah satunya adalah pernyataan Majelis Hakim bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi, tetapi menyebut para terdakwa tidak terbukti mengakibatkan kerugian perekonomian negara.

 

Hakim menolak penggunaan Pasal 2 yang unsurnya adalah melawan hukum, dan lebih memilih mengkualifikasi tersangka dengan Pasal 3 yang memiliki unsur penyalahgunaan wewenang. 

 

Hakim menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi bukan merupakan kerugian aktual. Cara hakim melihat kerugian negara hanya sebagai salah satu unsur yang seolah terpisah dengan keseluruhan konteks peristiwa kejahatan korupsi ini terasa janggal.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Taufik Rachman menjelaskan bahwa kerugian perekonomian negara yang dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 adalah ketika kebijakan dari pemerintah pusat yang berkaitan dengan perekonomian menjadi terganggu. Dalam kasusnya, terdapat orang-orang yang diuntungkan secara signifikan dan adanya kepentingan masyarakat yang tidak terlayani secara ekonomi.

 

“Dulu Pasal 2 dan Pasal 3 ini luar biasa dan sempat dilabeli sebagai pasal keranjang sampah karena sangat mudah digunakan untuk mengkriminalisasi orang, tapi sekarang sudah mulai mereda. Pasal 2 dan Pasal 3 diperuntukkan tindak pidana yang bersifat kompleks. Jadi Pasal 2 dan 3 menjadi tidak rasional jika diterapkan untuk perbuatan melawan hukum yang sederhana,” jelas Taufik.

 

Selain membahas mengenai pelaku-pelaku tindak pidana korupsi pemberian izin ekspor CPO dan proses hukumnya, diskusi ini juga mengurai dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap lingkungan.

 

Data dari Greenpeace menunjukkan pada 2001-2022, hutan yang hilang sekitar 10.279.142,16 Ha atau setara dengan luas pulau Jawa. Greenpeace dan TheTreeMap menemukan 3,12 juta hektar sawit dalam kawasan hutan dari tahun 2001 hingga 2019, yang terdiri dari 1,56 juta hektar milik smallholder dan 1,55 juta hektar milik industri serta terdapat lebih dari 600 perusahaan dengan luas 10 hektar.

 

Direktur HRLS FH UNAIR Franky Butar-Butar menjelaskan bahwa perkebunan sawit berdampak buruk bagi kerusakan lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

 

“Dampak dari perkebunan sawit di antaranya yaitu menyebabkan pencemaran air karena pembuangan limbah sawit ke perairan dan bau limbahnya dirasakan oleh masyarakat sekitar, lalu terjadi konflik antara satwa liar dengan warga, dan kerusakan lingkungan. Semua perusahaan sawit harus dilakukan audit, ketika dia beroperasi harus punya standar dari proses produksinya, dari ISPO nya, berapa yang diberikan kepada negara, kemudian dasar-dasar lingkungannya bagaimana dan pengawasan, transparansi, dan tingkat kepatuhannya”, jelas Franky.

 

Selain itu, Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace menyebut kehancuran hutan terutama dalam konteks Indonesia, diakibatkan oleh tingginya kasus korupsi kehutanan, lemahnya manajemen kehutanan karena tidak punya rencana yang jelas, kerugian lingkungan dianggap sebagai kerugian negara, dan krisis iklim. 

 

Kehancuran ini bahkan diperparah dengan adanya kebijakan pemerintah yaitu Pasal 110A dan 110B UUCK yang memberi kesempatan untuk pemutihan sawit.

 

Pemutihan sawit merupakan kegiatan melegalkan lahan perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, dengan tujuan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit yang belum teratur. Pemutihan pertama terjadi pada tahun 2012, lalu 2015, dan terakhir tahun 2020. Namun, kegiatan pemutihan ini justru akan membuka potensi pelanggaran lebih besar di masa mendatang dan memperburuk posisi sawit Indonesia di tataran global.

 

UUCK mengubah ketentuan UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Perubahan ini mengubah masa tenggang hingga tiga tahun, dan mengganti sanksi-sanksi administratif. 

 

Oleh karena itu, menurut Sekar, pintu akan semakin terbuka lebar bagi perusahaan untuk menguasai sawit ilegal. Hadirnya UUCK justru memberi sebuah ancaman yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.

 

“Tidak ada ekonomi yang tumbuh di tengah kerusakan lingkungan. Jadi mau sebagus apapun bayangan Indonesia emas, jika tidak ada transparansi, keterbukaan informasi, lalu negara tidak punya perusahaan yang benar-benar jujur, dan tidak punya kerangka kebijakan hukum yang bisa mengeksekusi. Pada akhirnya keuntungan ekonomi hanya didapatkan oleh pihak yang berkuasa dan kerusakan lingkungan akan terjadi secara masif,” tandas Sekar.



Annisa Rahmawati

Pembina

Annisa Rahmawati adalah seorang perempuan aktivis lingkungan. Mengawali karirnya pada tahun 2008 sebagai Local Governance Advisor pada program kemanusiaan di Aceh – di EU-GTZ International Service yang berfokus pada perawatan perdamaian dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pengalaman dalam bisnis yang lestari dan berkelanjutan didapat dari Fairtrade International sebagai assistant dan di Greenpeace Southeast Asia sebagai Senior Forest Campaigner yang berfokus pada kampanye market untuk komoditas industrial khususnya sawit yang bebas deforestasi sejak tahun 2013-2020. Selain itu Annisa juga pernah bekerja sebagai asisten proyek di UN-ESCAP Bangkok untuk perencanaan pembangunan kota yang lestari pada tahun 2012. Annisa memiliki latar belakang pendidikan di bidang Biologi dari Universitas Brawijaya Malang dan mendapatkan master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) di TU Bergakademie Freiberg Germany dengan dukungan Yayasan Heinrich Boell Stiftung. Annisa sangat antusias dan passionate untuk menyebarkan pesan dan kesadaran kepada dunia tentang permasalahan lingkungan dan bagaimana mencari solusi untuk menjadikan bisnis lebih bisa melakukan tanggung jawabnya, serta bagaimana kita bisa bertindak untuk menghadapi krisis iklim yang saat ini sedang kita hadapi.