REPORT - Kabaena Volume 2: Tracing the Doorway to Damage from the Network of Politically Exposed Persons

Kabaena, sebuah pulau kecil di ujung Sulawesi Tenggara. Saat ini, sekitar 73 persen atau 650 km² dari total luas wilayah Kabaena yang mencapai 891 km² telah terisi puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kabaena secara konstitusional dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 1/2014), yang secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Namun, bagian selatan Kabaena—yang secara administratif berada di Kabupaten Buton Tengah—merupakan salah satu wilayah yang menghadapi tekanan paling besar, tetapi ironisnya justru luput dari perhatian publik maupun kebijakan negara. Padahal, wilayah inilah yang menjadi salah satu titik awal masuknya industri tambang nikel ke Kabaena sejak tahun 2007, dan disinilah kerusakan ekologis dan sosial mulai berlangsung secara sistemik dan masif.

 

Aktivitas pertambangan di pulau ini telah menyebabkan deforestasi luas, degradasi kawasan pesisir, pencemaran perairan laut, serta konflik agraria dengan masyarakat adat dan lokal yang belum terselesaikan selama hampir dua dekade. Hasil riset terbaru Satya Bumi, WALHI Sulawesi Tenggara, dan LSM Sagori menemukan kedekatan para pemilik perusahaan dengan elit politik dan aparat negara memperkuat impunitas terhadap berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang terjadi. Beberapa di antaranya disebut-sebut memiliki koneksi kuat dengan sedikitnya lima menteri dalam Kabinet Indonesia Maju. Kemudian, lebih dari sekadar persoalan lokal, eksploitasi nikel di Kabaena merupakan bagian penting dari rantai pasok global industri kendaraan listrik. Banyak perusahaan baterai dan kendaraan listrik global terindikasi mendapatkan pasokan nikel dari Pulau Kabaena. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk kendaraan listrik yang disebut “ramah lingkungan” justru dibangun di atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat di daerah-daerah seperti Kabaena.

Artikel Lainnya

Share

Annisa Rahmawati

Advisor

Annisa Rahmawati is a woman environmental activist. She started her career in 2008 as a Local Governance Advisor on a humanitarian program in Aceh - at EU-GTZ International Service which focused on peacekeeping and local government capacity building. Her experience in sustainable business comes from Fairtrade International as an assistant and at Greenpeace Southeast Asia as a Senior Forest Campaigner focusing on market campaigns for industrial commodities, especially deforestation-free palm oil from 2013-2020. In addition, Annisa also worked as a project assistant at UN-ESCAP Bangkok for sustainable urban development planning in 2012. Annisa has an educational background in Biology from Brawijaya University Malang and obtained a master's degree in International Management of Resources and Environment (IMRE) at TU Bergakademie Freiberg Germany with the support of the Heinrich Boell Stiftung Foundation. Annisa is enthusiastic and passionate about spreading messages and awareness to the world about environmental issues and how to find solutions to make businesses more responsible, as well as how we can act to deal with the climate crisis that we are currently facing.