Di tengah gempuran kritik terhadap mega proyek food estate atau lumbung pangan, pemerintah justru akan melakukan ekstensifikasi food estate dengan tanaman tebu di Papua Selatan. Rencana ini diumumkan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo pada Senin (19/2/2024).
Proyek food estate ini rencananya akan memakan lahan seluas 2 juta hektar dengan tahap awal seluas 60 ribu hektar yang akan ditanami tebu.
Merespons hal ini, Satya Bumi menilai rencana food estate tebu yang digaungkan berpotensi kontraproduktif dengan tujuan awal food estate sebagai solusi ketahanan pangan.
“Food estate tebu ini adalah solusi semu ketahanan pangan. Dari berbagai pengalaman, belum ada proyek food estateyang berhasil. Angka deforestasi dan kerusakan lingkungan justru dilaporkan meningkat karena proyek ini,” jelas Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien dalam keterangan tertulis, Selasa (27/2/2024).
Target swasembada gula konsumsi nasional pada 2028 dan gula industri pada 2030, dimanfaatkan untuk menggenjot gila-gilaan produksi gula dalam negeri. Tak hanya itu, food estate tebu disebut-sebut juga akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati, bioetanol. Artinya, ini tidak hanya untuk kepentingan ‘food’ tapi juga untuk industri energi.
Pemerintah saat ini, dan diprediksi akan dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya, memang berencana mendorong produksi bahan bakar nabati baik seperti biodiesel, bioetanol, hingga bioavtur dengan subsidi yang tentunya menggiurkan bagi para produsen.
Pola ini mengingatkan kita pada amburadulnya tata kelola sawit yang mengakibatkan kelangkaan minyak goreng di 2022 lalu. Bukan tidak mungkin, pada praktiknya nanti, produksi tebu justru banyak diserap untuk kebutuhan energi ketimbang pangan.
Maka, kelangkaan dan melonjaknya harga gula sangat mungkin terjadi, jika tata kelola dan pembagian konsumsi tebu untuk kebutuhan pangan dan energi tak diatur sejak awal.
Selain itu, pembuatan bioetanol juga berpotensi menghasilkan limbah. Penelitian Huang dkk. (2020) menyebutkan tebu dapat menghasilkan residu limbah sebesar 17 ton/ha. Jika dilihat dari pembukaan awal 60 hektar, maka sedikitnya akan menghasilkan limbah sekitar 1.020 ton. Hal ini tentunya berdampak besar terhadap lingkungan, mengingat di Indonesia, pemusnahan limbah tebu hanya dibakar.
Kegagalan total food estate di Kalimantan juga diprediksi akan terjadi pula di Papua Selatan. Pembukaan lahan seluas 30 kali DKI Jakarta di hutan Papua itu, nantinya akan menjadi sia-sia. Alih-alih ketahanan pangan tercapai, kerusakan lingkungan justru akan semakin masif.
Pemerintah seharusnya mengkaji ulang proyek food estate dan bukan justru mendorong perambahan hutan lebih banyak lagi demi ambisi semata. Ambisi itu terlihat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. P.24 ini dikeluarkan karena kurangnya kawasan non hutan untuk pembangunan food estate.
“Permen ini dibuat karena kurangnya kawasan non hutan sehingga harus mengorbankan kawasan hutan untuk membangun food estate. Peraturan ini justru akan melegalkan deforestasi, karena akan membuka lahan baru dan tidak ada jaminan bahwa proyek ini tidak akan merusak lingkungan. Deforestasi akan berdampak kepada krisis iklim yang sedang dihadapi dunia global,” tegas Andi.
Pembangunan proyek food estate di Papua Selatan juga tidak berkaca dari kegagalan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dilaksanakan di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010. Proyek ini merusak tanaman sagu milik masyarakat Papua dan menimbulkan konflik lahan antara korporasi dan masyarakat adat.
Proyek food estate di Papua Selatan ini dikhawatirkan akan menimbulkan terulangnya konflik lahan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal yang mendiami wilayah ini.
=========