Awal tahun 2022 tepatnya 6 Januari 2022, Presiden Joko Widodo melakukan Konferensi Pers melalui kanal Youtube Sekretariat Negara Republik Indonesia mengatakan “pemerintah terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil, untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam. Untuk itu, izin-izin pertambangan, kehutanan dan penggunaan lahan negara terus dievaluasi secara menyeluruh”.[1] Pemerintah mencabut sebanyak 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja, mencabut sebanyak 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan, mencabut Hak Guna Usaha seluas 34.448 hektar karena ditelantarkan.
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua mencatat luas perizinan yang dicabut di Tanah Papua mencapai 1.287.030,37 hektar, yang terbanyak adalah surat keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, sebanyak 47 SK dengan luas 1.065.221 hektar.
Dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Komisi IV DPR RI tanggal 25 Januari 2022[2] disampaikan MenLHK 01/MENLHK/SETJEM/KUM.1/1/2022 masih bersifat deklaratif. KLHK membuka ruang klarifikasi kepada pemegang izin konsesi hingga hasilnya dapat berupa keputusan definitif pencabutan per perusahaan atau kebijakan peningkatan produktivitas dan perlindungan. Ini selaras dengan diktum keempat untuk menerbitkan keputusan tentang pencabutan izin setiap perusahaan pemegang izin.
KLHK terkesan tertutup terkait tindak lanjut SK MenLHK 01/MENLHK/SETJEM/KUM.1/1/2022 khususnya proses klarifikasi yang berlangsung. Koalisi turut mengkritisi pembiaran deforestasi yang berlangsung pasca pencabutan pelepasan kawasan hutan dan ketiadaan partisipasi masyarakat adat untuk memperoleh pemulihan atas hak ulayat dan sumber daya alamnya.
Koalisi tidak menemui adanya informasi yang berarti tentang tindak lanjut pencabutan perizinan. Informasi terbatas diperoleh melalui pemantauan media yang menerima siaran pers Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia telah menandatangani surat pencabutan izin konsesi kawasan hutan yang ditujukan kepada 15 perusahaan, dengan total luas lahan mencapai 482 ribu hektar.[3]
Ada 3 SK perkebunan kelapa sawit di Papua masuk dalam daftar siaran pers BKPM, yaitu PT Permata Nusa Mandiri, PT Tunas Agung Sejahtera, dan PT Menara Wasior. Informasi lain diperoleh melalui pemantauan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, yaitu adanya gugatan yang dilayangkan PT Permata Nusa Mandiri, PT Tunas Agung Sejatera, dan PT Menara Wasior ke Badan Koordinasi Penanaman Modal terkait Pencabutan Perizinan. Sebelum memasuki pokok perkara ketiga perusahaan mencabut gugatan. Sebagai catatan sepanjang tahun 2022, PT Permata Nusa Mandiri melakukan pembukaan hutan seluas 67 hektar di areal izin yang telah dicabut, tidak ada upaya penegakan hukum penghentian atas deforestasi yang terjadi.
Terbaru berdasarkan SIPP PTUN Jakarta, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama menggugat KHLK atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Koalisi menduga keputusan ini merupakan tindak lanjut SK MenLHK 01/MENLHK/SETJEM/KUM.1/1/2022.
PT Megakarya dan PT Kartika Cipta Pratama terafiliasi dengan PT Menara Group yang tersangkut skandal Proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, menggunakan nama nomine di dalam akta pendiriannya, tujuh anak perusahaan Menara Group memperoleh izin usaha perkebunan seluas 270.095 hektar dalam satu hamparan yang sama. Dalam sebuah persidangan di PTUN Jayapura, seorang staf Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua menyatakan telah terjadi tindak pidana pemalsuan tanda tangan IUP tujuh perkebunan. Dalam laporan Greenpeace “Stop Baku Tipu Sisi Gelap Perizinan Tanah Papua”, keberadaan perkebunan yang teleh membuka hutan telah menyebabkan permasalahan sosial dan lingkungan.4
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mendampingi masyarakat melakukan pemetaan partisipatif di wilayah SK pencabutan kawasan hutan PT Megakarya dan PT Kartika Cipta Pratama, menemukan adanya kelompok masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat yang wajib dipulihkan hak-haknya.
Kepemilikan hak ulayat pada kasus di atas adalah gambaran kecil bersentuhannya tindakan kebijakan pencabutan perizinan melalui SK MenLHK 01/MENLHK/SETJEM/KUM.1/1/2022 dengan hak-hak masyarakat adat di Papua, sehingga seharusnya dapat memulihkan hak-hak masyarakat adat memperoleh akses pemanfaatan sumber dayanya, langkah yang dilakukan KLHK melalui membuka informasi secara berkala, memberikan akses kepada masyarakat adat untuk terlibat dalam proses klarifikasi, kemudian melakukan pemulihan atas hak-haknya melalui pengakuan hutan adat.
Gugatan yang diajukan kedua perusahaan akan berdampak kepada hak dan kepentingan masyarakat adat yang memanfaatkan hutan sebagai ruang kehidupan. Bilamana gugatan diterima dalam satu putusan pengadilan maka merugikan hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat memilih untuk terlibat dalam proses hukum dengan mengajukan diri sendiri sebagai pemohon intervensi guna mempertahankan hak dan kepentingannya. Diperlukan keseriusan KHLK menghadapi perlawanan yang dilakukan oleh perusahaan.
Sesuai statemen Presiden Joko Widodo 6 Januari 2022 yang menyebutkan “komitmen pemerintah memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil, untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam”. Kami Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua menyampaikan pendapat kami kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan:
Untuk transparansi dan keadilan, KLHK segera membuka informasi perkembangan tindak lanjut SK 01/MENLHK/SETJEM/KUM.1/1/2022 dan memberikan akses kepada masyarakat adat Papua untuk terlibat setiap proses klarifikasi;
Memulihkan hak-hak dasar masyarakat adat Papua dengan mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak-hak sumber dayanya untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan secara adil dan lestari, berdasarkan hukum pengetahuan dan kelembagaan adat, serta teknologi, inovasi yang ramah sosial dan ekologi;
Menolak perizinan baru, tidak memberikan kemudahan perizinan, menerapkan pemberian sanksi dan disinsentif pada korporasi yang melanggar hukum serta tidak bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi, pemulihan lingkungan;
Melakukan penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan deforestasi pasca penertiban dan penataan pelepasan kawasan hutan.
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia)
Contact Persons:
Tigor Gemdita Hutapea (+62 812-8729-6684)
Sekar Banjaran Aji (+62 812-8776-9880)
Emanuel Gobai (+62 821-9950-7613)
__________
[1] https://www.setneg.go.id/baca/index/pemerintah_cabut_ribuan_izin_usaha_tambang_kehutanan_dan_hgu_p erkebunan
[2] DPR RI “Live Streaming – Komisi IV DPR RI Raker dengan Menteri LHK RI” 25 Januari 2022, https://youtu.be/dNcnfVu4XL4?t=3777
[3] BKPM Cabut Izin Kehutanan seluas 482 ribu Hektar https://papua.betahita.id/news/detail/7357/bkpm-cabut-15- izin-kehutanan-seluas-482-hektare.html?v=1677031307
[4] https://issuu.com/greenpeaceinternational/docs/stop_baku_tipu_sisi_gelap_perizinan_tanah_papua